TRIBUNNEWS.COM - Dalam Al-Quran terdapat beberapa kategori penting tentang gambaran sifat seseorang. Muslim, mukmin, musyrik, kafir dan munafik, serta beberapa kategori lainnya. Bahkan, di permulaan Al-Quran, di awal surat Al-Baqarah, diketengahkan tiga kategori penting: mukmin, kafir dan munafik.
Lima ayat pertama surat Al-Baqarah berbicara tentang ciri orang bertakwa. Kategori mukmin. Yaitu orang yang beriman kepada yang ghaib, mau mendirikan shalat, mau menunaikan zakat dan infak, beriman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad dan mempercayai adanya negeri Akhirat.
Dua ayat berikutnya, yaitu ayat keenam dan ketujuh bicara tentang ciri orang kafir. Menurut penjelasan ayat keenam, bahwa orang kafir, yaitu yang hatinya telah terkunci mati pada kebenaran tauhid, didakwahi atau tidak didakwahi hasilnya akan sama saja: tidak mau beriman. Karena, Allah telah mengunci mati hati, pendengaran dan penglihatan mereka dari kebenaran. Tinggalkan! “Lakum dinukum waliyadiin” (Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku). Clear!
Selanjutnya, ayat kedelapan hingga keduapuluh berbicara tentang ciri orang munafik. Lima ayat tentang ciri orang beriman & bertakwa; dua ayat tentang ciri orang kafir; dan tiga belas ayat tentang ciri orang munafik.
Mengaku beriman, padahal tidak! Itu ayat kedelapan. “Dan diantara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir,’ padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (Qs. [2]: 8)
Mengaku beriman, padahal tidak beriman, namanya menipu! “Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.” (Qs. [2]: 9)
Suka menipu, itu penyakit hati! Dan jika hal itu dilakukannya terus-menerus sehingga menjadi tabiat dan karakternya: menipu, tidak otentik, penuh polesan dan pencitraan diri, maka Allah justru akan semakin tambahkan penyakit hati itu dalam dirinya. Artinya: semakin menjadi-jadi, menjadi watak yang mengakar kuat; sulit diubah! “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.” (Qs. [2]: 10)
Jika dikatakan jangan berbuat kerusakan, mereka tidak terima, bahkan pasti membantahnya dan membalikkan fakta: “kamilah yang membuat perbaikan.” Tindakannya merusak, tapi mengklaim yang memperbaiki. Menghancurkan, tapi bilangnya yang membangun. Itulah ciri munafik.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.” (Qs. [2]: 11-12)
Sama halnya, saat diseru untuk beriman, bertakwa, kembali ke jalan yang benar dan lurus, malah seringkali meledek dan mengolok-oloknya: ‘ah, itu tindakan bodoh, kuno, mundur’ dan lain sebagainya. Diseru kepada kejujuran nanti jawabnya: ‘kalau jujur terus kapan jadi orang kaya? kalau jujur apa bisa menang?’ Selalu ada saja cibiran pada setiap ajakan kebaikan dan kebenaran.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman!’ Mereka menjawab, ‘Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang kurang akal, tetapi mereka tidak tahu.” (Qs. [2]: 13)
Ciri lainnya: suka berkhianat. Mengaku sebagai teman, tetapi menusuk dari belakang. Manis di depan, tapi di belakang menghujat. Bermuka dua. Hipokrit. Penjilat. Mau jadi kawan atau lawan harus jelas, jangan menjadi musuh dalam selimut, udang di balik batu, dan aneka trik mengelabui lainnya.
“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, ‘Kami telah beriman.’ Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.’ (Qs. [2]: 14)
Padahal, dengan sikapnya yang bermuka dua, inkonsisten dan hipokrit itu, “Allah akan memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka, perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak mendapat petunjuk.” (Qs. [2]: 15-16)
“Membeli kesesatan dengan petunjuk” menurut para ahli tafsir adalah mengganti petunjuk dengan kesesatan. Artinya, setiap ditunjukkan padanya jalan yang benar, yang lurus, yang selamat, malah menempuh jalan yang salah, yang menyimpang dan celaka. Ditunjukkan untuk berkawan dengan orang-orang baik, malah berkawan dengan orang-orang berkarakter buruk. Diajari jujur, malah curang. Diajari untuk amanah, malah berkhianat!
Itulah diantara ciri dan karakteristik orang munafik. Baru delapan ayat! Bagaimana jika kita bedah semua ayat Al-Quran tentang kemunafikan dan orang-orang munafik? Bagaimana pula penjelasan Rasulullah dalam banyak sekali hadis-hadisnya?
Beriman tetapi tidak beramal saleh itu juga termasuk munafik. Sebagaimana halnya mengaku beriman tetapi tidak bisa berkata yang baik; beriman tetapi menipu; beriman tetapi mengadu-domba; beriman tetapi pendendam, dan lain sebagainya. Setiap mukmin harus punya ketegasan sikap, tidak boleh ragu dan bermuka dua. Keraguan berpotensi memunculkan kemunafikan, suatu sikap menduakan kebenaran yang amat ditentang agama.
Contoh lain kemunafikan dalam Al-Quran adalah mengatakan sesuatu tetapi tidak melaksanakannya. “Amat besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya.” (Qs. As-Shaff [61]: 3)
Termasuk munafik yaitu orang yang malas shalat atau shalat untuk tujuan pamer (riya’), dan malas berdzikir. “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit saja.” (Qs. An-Nisa [4]:142)
Secara psikologis pun kemunafikan membuat orang tidak tentram dan bahagia, karena sikapnya itu akan selalu bertentangan dengan kata hati nuraninya sendiri (baca: Qs. Al-Baqarah [2]:8-20) Ada pepatah mengatakan: kita bisa membohongi orang lain selamanya, tetapi tidak pada diri sendiri. Jadi, orang munafik itu sebetulnya hatinya selalu tertekan, selalu gelisah.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri pula bahwa perubahan zaman seringkali mengaburkan nilai-nilai kebenaran, pada saat yang sama etos furqan, yaitu etos membedakan antara kebenaran dan kebatilan menjadi melemah. Oleh karenanya, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:147)
Jadi, kita harus teguh dan konsisten mengimani kebenaran. Rasul berpesan: “Katakanlah, ‘aku beriman kepada Allah’, kemudian istiqomahlah dengan (perkataanmu) itu.” (HR. Ahmad)
Oleh karenanya kita harus terus mengimani kebenaran, melakukannya, dan mendakwahkannya kepada seluruh manusia, betapapun resikonya. Jangan munafik; setengah beriman setengah kafir; setengah syukur setengah kufur; setengah teman setengah lawan. Pesan Rasul: “Katakanlah tentang kebenaran meskipun pahit” (HR. Ibnu Hibban).
“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang munafik yang berkata: Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan karena hati mereka mengingkarinya. Sesungguhnya makhluk yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran), yaitu orang-orang yang tidak mengerti.” (Qs. Al-Anfal [8]:21-22)