MASIH ingat peristiwa penembakan massal di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, 15 Maret 2019?
Aksi teroris itu mengakibatkan 51 korban tewas dan ratusan lainnya terluka.
Keesokan harinya, pada 16 Maret 2019, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, menunjukkan solidaritasnya dengan mengunjungi keluarga korban sambil mengenakan hijab berwarna hitam.
Aksi Jacinda Ardern mengundang simpati dari warga Selandia Baru.
Para wanita, berduyun-duyun juga mengikuti langkah Jacinda Ardern, mereka menggunakan hijab sebagai bentuk simpati terhadap Muslim.
Mulai dari pembawa berita hingga petugas kepolisian, beberapa lainnya menggunakannya ke tempat bekerja, dan yang lainnya pada seremoni pemakaman.
Foto-foto wanita Selandia Baru yang mengenakan hijab beredar luas di media sosial.
Dari sekian banyak wanita tersebut, salah satunya Megan Lovelady, yang juga turut hadir dalam aksi solidaritas sambil mengenakan hijab.
Bukan hanya sehari dua hari, Megan Lovelady mengenakannya sampai berhari-hari setelah peristiwa penembakan.
Pada Jumat, seminggu setelah serangan, bersama ribuan wanita lainnya, Mega Lovelady menghadiri acara salat Jumat di Masjid Al Noor.
Dari halaman masjid, dia mendengar imam membacakan Alquran.
Ketika mendengarnya, Mega Lovelady merasakan getaran di dadanya.
"Ketika mendengar imam membacakan Quran, rasanya sungguh menakjubkan," ujarnya.
Dari sana, Megan terus berpetualang untuk mencari tahu tentang Islam, sampai akhirnya dia memutuskan untuk masuk Islam.
Pada bulan Ramadan ini, berita Megan Lovelady yang masuk Islam cukup viral di Selandia Baru.
Artikel ini akan memuat kisah perjalanan Megan Lovelady hingga akhirnya dia memutuskan masuk Islam seperti disarikan dari ganaislamika.
Gelombang Hijab di Selandia Baru
Megan adalah seorang pekerja di kafe, usianya baru 22 tahun.
Pada awalnya, dia hanya ingin membantu.
Sehari setelah serangan Masjid Al Noor, Christchurch, Megan mendengar kabar bahwa wanita Muslim takut ke luar rumah dengan mengenakan hijab karena takut akan keselamatan mereka.
Megan yang lahir di Tennessee, Amerika Serikat, bermigrasi ke Selandia Baru bersama keluarganya ketika dia berusia 7 tahun.
Hari itu Megan memutuskan untuk mengenakan jilbab dalam aksi solidaritas untuk para wanita Muslim.
"Aku menonton satu miliar video di YouTube tentang cara mengenakan kerudung. Supaya aku tidak menyinggung siapa pun," kata Megan.
Dia khawatir salah pakai, tidak sesuai dengan tradisi agama Islam.
Di kemudian hari, Megan menertawakan kehati-hatiannya itu, dia menyadari bahwa ternyata tidak ada standar khusus tentang cara mengenakan hijab.
Dan wanita Muslim cenderung tidak mempersoalkan bagaimana cara memasang simpul pada sebuah hijab.
Ketika Megan berjalan melewati jalan-jalan di Christchurch dengan kepala tertutup, dia merasa seolah-olah orang-orang memandangnya lebih dari biasanya.
Dia berharap dukungan kecil ini akan membantu para wanita Muslim agar terlihat “lebih normal”.
Megan terus mengenakan hijab selama beberapa hari.
Seminggu setelah pembantaian, dia pergi kerja lebih awal karena ingin menghadiri sebuah acara di Hagley Park, bersama dengan ribuan lainnya, di mana salat Jumat diadakan di dekat Masjid AI Noor.
"Ketika mendengar imam membacakan Quran, rasanya sungguh menakjubkan," ujarnya.
"Sesuatu telah bergerak di dalam dadaku. Aku pernah merasakan itu hanya sekali sebelumnya, tetapi tidak sebesar ini."
Peristiwa itu terjadi pada saat Megan berusia 15 tahun, saat itu dia tengah dibaptis di sebuah gereja Kristen.
Waktu itu dia merasakan getaran energi yang sama di hatinya, tetapi tidak sekuat sekarang.
Seolah-olah ada sesuatu yang berkata, "Hei, aku ada di sini … tetapi engkau belum menemukannya dengan jelas."
Tak lama setelah pembacaan Alquran, ratusan Muslim salat dan bersujud.
Bagi Megan, itu adalah sebuah pemandangan yang sangat emosional, dia ingin ikut salat bersama mereka.
Tetapi, "Aku tidak tahu caranya. Jadi aku hanya berdiri di sana dengan hijabku, dan menangis."
Setelah kejadian itu, Megan ingin tahu lebih banyak tentang Islam.
Selain itu, dia juga memang sangat ingin membantu komunitas Muslim yang menderita setelah serangan itu.
Megan lalu mendatangi tempat pusat pertemuan keluarga korban penembakan, di sana dia mencari-cari wanita berhijab yang berada di luar gedung, untuk menanyakan bagaimana caranya agar dia bisa membantu.
Namun di luar dia tidak bertemu dengan siapapun.
Megan lalu berbicara kepada petugas kepolisian yang bersenjata yang sedang berjaga.
"Aku bertanya kepadanya bagaimana kami dapat membantu orang-orang ini. Dia menatapku dengan aneh dan tersenyum kecil. ‘Masuk saja,’ katanya. Aku seperti, ‘Memangnya aku boleh masuk begitu saja?’ Aku sangat terkejut bahwa ternyata sesederhana itu." (ganaislamika/PH)
Artikel ini telah tayang di ganaislamika dengan judul Megan Lovelady (1): Gelombang Hijab di Selandia Baru