Ibnul Qayyim menyatakan kata malu berasal dari kata hayaah (hidup), meskipun ada ulama lain yang menyatakan malu berasal dari kata al-hayaa (hujan).
Al-Junaid berkata rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu.
Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak orang lain.
Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut.
Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang.
Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Islam menjadikan rasa malu itu sebagai satu ciri khas misi ajarannya.
Rasulullah SAW menegaskan: "Setiap agama itu memiliki ciri khas akhlaknya, dan akhlak yang menjadi ciri khas agama Islam adalah rasa malu." (HR Imam Malik)
Memelihara Hati
Umat Nabi SAW selalu menjadikan sifat malu sebagai akhlak mulianya.
Malu kepada Allah SWT untuk berbuat maksiat dan meninggalkan perintah-Nya karena apapun yang dilakukan oleh manusia diketahui oleh Allah SWT.
Malu kepada malaikat yang menemani dan mencatat amal perbuatannya.
Malu kepada masyarakat untuk berbuat hal tercela. Sebab tak mungkin ada kebaikan manakala sudah hilang rasa malunya.
Dari sahabat Abdillah ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda, "Malulah kalian kepada Allah dengan rasa malu yang sebenarnya!” lalu para sahabat berkata, "Wahai Rasul sungguh kami masih punya rasa malu, Alhamdulillah."
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bukan itu yang aku maksudkan. Rasa malu kepada Allah yang benar adalah dengan cara engkau pelihara kepala mu dan semua di sekitarnya, engkau pelihara perut mu dan sekitarnya, ingatlah mati dan keadaan mu yang akan menjadi tulang belulang, lalu tinggalkan hiasan dunia untuk menjamin kesenangan akhirat! Jika telah melakukan itu semua, baru orang tersebut telah merasa malu yang benar terhadap Allah." (HR. Ahmad, Tirmidzidan al-Hakim)