KH Cholil Nafis Lc MA PhD
Ketua Komisi Dakwah MUI
DAHULU, masyarakat menjauhi pacaran antara remaja putra dan putri karena ada rasa malu.
Bahkan orang tua tidak kuat menahan rasa malu manakala remaja putrinya bersama laki-laki yang bukan mahramnya.
Jangankan mengajak teman laki-lakinya ke rumah, menyapa di jalanan SAJA terasa ada rasa malu.
Karenanya, pergaulan bebas saat itu dapat lebih mudah dicegah karena ada rasa malu di hati masyarakat.
Betapa banyak sesuatu yang diinginkan oleh syawat manusiawi dapat ditahan karena motivasi malu.
Kini fenomena berubah, rasa malu hubungan remaja putra dan putri mulai berkurang.
Anak remaja tak segan-segan untuk mengajak teman dekatnya ke rumah untuk dikenalkan kepada orang tuanya padahal bukan untuk melamarnya.
Acara apel malam mingguan dianggap suatu yang lumrah.
Bahkan berjalan berduaan dan bersama seakan pasangan yang sah dianggap hal biasa.
Itu semua karena mulai pudarnya rasa malu.
Malu adalah budaya bangsa Indonesia.
Demikian pula agama Islam menanamkan sifat malu.
Budaya malu merupakan kontrol diri untuk bersikap baik dan adil.
Ajaran malu dapat menjaga marwah (baca; muru’ah) dari perbuatan tercela sehingga dapat meningkatkan derajat keimanan.
Orang yang tak punya rasa malu akan terjerumus pada kenistaan dan tak dipandang baik oleh Allah SWT dan masyarakat.
Ibnul Qayyim menyatakan kata malu berasal dari kata hayaah (hidup), meskipun ada ulama lain yang menyatakan malu berasal dari kata al-hayaa (hujan).
Al-Junaid berkata rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu.
Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak orang lain.
Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut.
Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang.
Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Islam menjadikan rasa malu itu sebagai satu ciri khas misi ajarannya.
Rasulullah SAW menegaskan: "Setiap agama itu memiliki ciri khas akhlaknya, dan akhlak yang menjadi ciri khas agama Islam adalah rasa malu." (HR Imam Malik)
Memelihara Hati
Umat Nabi SAW selalu menjadikan sifat malu sebagai akhlak mulianya.
Malu kepada Allah SWT untuk berbuat maksiat dan meninggalkan perintah-Nya karena apapun yang dilakukan oleh manusia diketahui oleh Allah SWT.
Malu kepada malaikat yang menemani dan mencatat amal perbuatannya.
Malu kepada masyarakat untuk berbuat hal tercela. Sebab tak mungkin ada kebaikan manakala sudah hilang rasa malunya.
Dari sahabat Abdillah ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda, "Malulah kalian kepada Allah dengan rasa malu yang sebenarnya!” lalu para sahabat berkata, "Wahai Rasul sungguh kami masih punya rasa malu, Alhamdulillah."
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bukan itu yang aku maksudkan. Rasa malu kepada Allah yang benar adalah dengan cara engkau pelihara kepala mu dan semua di sekitarnya, engkau pelihara perut mu dan sekitarnya, ingatlah mati dan keadaan mu yang akan menjadi tulang belulang, lalu tinggalkan hiasan dunia untuk menjamin kesenangan akhirat! Jika telah melakukan itu semua, baru orang tersebut telah merasa malu yang benar terhadap Allah." (HR. Ahmad, Tirmidzidan al-Hakim)
Malu yang dimaksud dalam Hadits Ibnu Mas’ud adalah menjaga pikiran, pandangan, pendengaran, dan ucapan dari sesuatu yang melanggar perintah Allah SWT.
Begitu juga kita diperintah untuk menjaga perut dari mengonsumsi yang haram dan menjaga kemaluan dari perbuatan zina.
Ingat pada kematian dan punahnya kehidupan.
Memelihara hati dari terlena terhadap gemerlap dan kemewahan duniawi sehingga lupa untuk menghimpun bekal menuju akhirat.
Itulah malu yang dimaksud sebagai ciri khas akhlak umat Nabi Muhammad SAW.