TRIBUNNEWS.COM - Mudik atau pulang kampung dalam rangka menymbut Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri sudah menjadi tradisi di Indonesia.
Untuk pulang ke kampung halaman, para perantau melakukan perjalanan menempuh jarak ratusan bahkan ada yang ribuan kilometer.
Perjalanan jauh itu tentu saja dilakukan sebelum Hari Raya Idul Fitri 1440 H, yang berarti pemudik masih dalam kewajiban menjalankan ibadah puasa.
Namun, perjalanan yang jauh dan panjang tentu membuat fisik kurang fit saat berpuasa atau bahkan tak kuat menjalankan puasa.
Baca: Mudik ke Kampung Halaman Naik Motor? Cermati Enam Poin Penting Ini
Baca: Daftar Harga Tiket Pesawat Rute Populer Setelah Tarif Diturunkan Kemenhub Jelang Mudik Lebaran 2019
Di dalam hukum fiqih Islam ada beberapa faktor yang menjadi penyebab berubahnya beberapa hukum pokok seperti diperbolehkannya meringkas salat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, berpuasa, meninggalkan salat Jum’at dan lain sebagainya.
Sebagaimana ibadah wajib lainnya dalam puasa Allah juga memberi keringanan bagi kelompok tertentu untuk tidak melakukannya dengan konsekuensi menggantinya di hari yang lain, membayar fidyah, atau gabungan dari keduanya.
Kelompok orang yang diberi keringanan boleh tidak berpuasa adalah orang yang sedang melakukan perjalanan atau lebih kaprah disebut musafir.
Di dalam Al-Qur’an Allah dengan jelas menyatakan hal tersebut dalam firman-Nya:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“…Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain...” (QS. al-Baqarah: 185)
Hanya saja ketentuan bahwa seorang musafir boleh tidak berpuasa memiliki aturan-aturan main yang tidak disebutkan secara rinci di dalam al-Qur’an.
Aturan-aturan ini perlu diketahui oleh masyarakat muslim agar tidak salah dalam menerapkannya.
Tidak dipungkiri bahwa tidak setiap muslim benar-benar memahami hal ini.
Baca: Malas Nyetir saa Arus Mudik? Manfaatkan Jasa Gendong Mobil Saja
Baca: Jadwal Buka Puasa Hari Ini Jumat 17 Mei di DKI Jakarta, Ada Doa Buka Puasa dan Niat Salat Tarawih
Mereka hanya memahami bahwa seorang yang sedang bepergian boleh tidak berpuasa, itu saja, tidak lebih.
Maka terjadilah satu perbuatan di mana di pagi hari seseorang berpuasa lalu membatalkannya karena ia melakukan satu perjalanan dan menyebut dirinya sebagai musafir.
Atau ada seorang yang sejak malam hari sudah berniat tidak akan berpuasa di esok hari karena akan melakukan perjalanan jauh, pun dengan pemahaman karena pada hari itu ia sebagai musafir.
Lalu bagaimana sebenarnya aturan main bagi seorang musafir yang diperbolehkan tidak berpuasa?
Dikutip TribunPalu.com dari laman NU Online berikut penjelasannya.
Para fuqaha (ulama ahli fiqih) menjelaskan masalah ini secara rinci dalam kitab-kitab mereka.
Baca: Seruan kepada Seluruh Kader HMI Adakan Doa Bersama Bagi Kelangsungan Persatuan Bangsa
Di antaranya Imam Jalaludin Al-Mahalli menuturkan:
( وَ ) يُبَاحُ تَرْكُهُ ( لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا ) فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلاةِ الْمُسَافِرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ ) الْمُقِيمُ ( صَائِمًا فَمَرِضَ أَفْطَرَ ) لِوُجُودِ الْمُبِيحِ لِلإِفْطَارِ . ( وَإِنْ سَافَرَ فَلا ) يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَضَرِ وَقِيلَ يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّفَرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ الْمُسَافِرُ وَالْمَرِيضُ صَائِمَيْنِ ثُمَّ أَرَادَا الْفِطْرَ جَازَ ) لَهُمَا لِدَوَامِ عُذْرِهِمَا . ( فَلَوْ أَقَامَ ) الْمُسَافِرُ ( وَشُفِيَ ) الْمَرِيضُ ( حَرُمَ ) عَلَيْهِمَا ( الْفِطْرُ عَلَى الصَّحِيحِ ) لِزَوَالِ عُذْرِهِمَا وَالثَّانِي يَجُوزُ لَهُمَا الْفِطْرُ اعْتِبَارًا بِأَوَّلِ الْيَوْمِ
“Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian. Bila seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa. Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh maka haram bagi keduanya berbuka menurut pendapat yang sahih karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa. Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 161)
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj.
Hanya saja beliau menambahkan penjelasan:
وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا
“Bila seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang ditetapkan dalam bab shalatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka.” (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz 1, hal. 589)
Baca: PrimaFood Gelar Buka Puasa Bersama Anak Yatim, Perwakilan Panti Asuhan: Kami Berterima Kasih!
Dari kedua penjelasan di atas secara rinci dapat diambil kesimpulan aturan main kebolehan tidak berpuasa bagi seorang musafir sebagai berikut:
1. Perjalanan yang dilakukan menempuh jarak perjalanan yang membolehkan mengqashar salat
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batas minimal kilometer yang ditempuh untuk bisa menqashar shalat.
Ini bisa dimengerti karena berbagai dalil yang menuturkan hal ini tidak menggunakan ukuran kilometer tapi menggunakan ukuran yang biasa dipakai oleh bangsa Arab saat itu yakni empat burud
Kemudian dikonfersikan menjadi empat puluh delapan mil menurut ukuran Hasyimi, dan empat puluh mil menurut ukuran Bani Umayah (Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah [Kuwait: 1980], juz 25, hal. 28-29).
Di dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji (Damaskus: Darul Qalam, 2013, jil. 1, hal. 191) secara jelas Dr. Musthofa Al-Khin dan kawan-kawan mengkonversikan ukuran ini ke dalam ukuran kilometer dengan bilangan 81 kilometer.
2. Perjalanan dengan maksud baik
Perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk melakukan suatu kemaksiatan.
Baca: Buat Persiapan Mudik, Jaringan Shop & Drive Tawarkan Paket Tune Up Mulai dari Rp 250 Ribuan
3. Telah melewati batas daerah tempat tinggal
Perjalanannya dilakukan pada malam hari dan sebelum terbit fajar (waktu subbuh) telah melewati batas daerah tempat tinggalnya, dalam konteks wilayah Indonesia adalah batas kelurahan.
Hal ini sebagaimana pernah disampaikan oleh KH. Subhan Ma’mun, Pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyah, Luwungragi Brebes dan Rais Syuriah PBNU, pada kajian kitab Tafsir Al-Munir di Islamic Center Brebes.
4. Pergi setelah terbit fajar
Bila ia pergi setelah terbitnya fajar maka ia tidak diperbolehkan berbuka dan wajib berpuasa penuh pada hari itu.
5. Seorang musafir (yang dalam keadaan melakukan perjalanan sebagaimana syarat-syarat di atas) yang pada waktu pagi hari berpuasa diperbolehkan berbuka membatalkan puasanya.
6. Seorang musafir yang telah bermukim di suatu tempat dilarang berbuka (tidak berpuasa).
(TribunPalu.com/Sinatrya Tyas Puspita)
Artikel ini telah tayang di Tribunpalu.com dengan judul Merencanakan Mudik Lebaran 2019? Berikut Penjelasan Aturan Fiqih Tidak Berpuasa Bagi Musafir.