Sebuah ilustrasi perlu diketengahkan di sini. Si A yang mukmin bertamu ke rumah si B (tuan rumah) yang juga mukmin. Sebagaimana tradisi bertamu sudah barang tentu tuan rumah akan menyiapkan jamuan makan. Maka, sebagai tamu, si A tidak perlu memberitahu kepada pihak tuan rumah bahwa dirinya tidak makan daging babi, bir, atau makanan minuman haram lainnya, apalagi si A menegaskan bahwa semua itu adalah haram baginya.
Meskipun secara substansi benar, tetapi secara metode si A keliru besar. Sebab, tanpa memberitahu seperti itu pun, tuan rumah si B tidak mungkin akan menyuguhkan hidangan makanan dan minuman yang haram, sebab ia juga seorang mukmin yang mengerti betul hukum halal haram. Dengan kata lain, si B pasti hanya akan menyuguhkan hidangan yang halal.
Nah, sekarang si A tinggal memilih dari aneka menu dalam hidangan itu –yang semuanya pasti halal– mana yang baik untuk dirinya. Jika dalam menu itu ada daging kambing dan sayur sop, maka jika si A mengidap hipertensi dan kolesterol pasti akan memilih sayur sop. Jika dihidangkan dua gelas air minum: air putih dan teh manis, maka jika si A mengidap diabetes pastinya ia hanya akan memilih air putih daripada teh manis.
Demikianlah, Allah SWT dalam ayat (172) itu ketika berbicara kepada kaum beriman unsur halalnya “disembunyikan“. Sedangkan pada ayat sebelumnya (168) ketika menyapa semua manusia baik kaum beriman atau kaum kafir, kedua unsur ditunjukkan: halal dan baik.
Seolah Allah ingin menegaskan pada kita bahwa bagi kaum beriman masalah halal haram mestinya telah selesai. Sekarang tinggal memilah saja mana dari semua yang dihalalkan Allah itu yang baik untuk dirinya sendiri.
Baik bagi seseorang belum tentu baik bagi yang lain. Daging kambing yang halal belum tentu baik bagi semua orang. Gula yang manis belum tentu baik bagi semua orang. Rumus ini tidak berlaku dalam konteks halal haram. Daging babi yang telah Allah haramkan, maka keharamannya berlaku umum, bahkan bukan untuk kaum beriman saja akan tetapi (sebetulnya) berlaku pula untuk seluruh manusia.
Ayat 168 dan 172 di atas yang sama-sama berbicara tentang makanan, seolah Allah mengklasikasikannya menjadi dua tingkatan: umum (hai seluruh manusia) dan khusus (hai orang-orang yang beriman). Untuk yang umum ditunjukkan dua unsur penting: halal dan baik (halalan toyyiba). Sedangkan untuk yang khusus hanya ditunjukkan yang baik-baik saja (toyyibaat).
Jadi, jika masih ada kaum beriman yang dengan sengaja memakan makanan atau minuman haram, maka hakekatnya dia mundur ke belakang. Dan sudah semestinya kaum beriman hanya akan memakan makanan yang jelas-jelas kehalalannya dan jelas-jelas manfaat baiknya untuk dirinya.
Jangan sampai ada makanan atau minuman haram seteguk pun yang dengan sengaja masuk ke dalam perut kita. Sekuat tenaga harus dihindari. Itulah gaya hidup muslim: HALAL LIFESTYLE.
Serial Kultum Ramadhan #9