TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional ke-111, ahli-ahli Al-Qur'an dari seluruh Indonesia berkumpul dalam gelaran Konferensi dan Sima’an Akbar Al-Qur'an untuk Keselamatan dan Keberkahan Bangsa, di Jakarta.
Helatan yang digagas Jam'iyyatul Qurra Wal Huffadz (JQH) ini berlangsung selama dua hari, 20 dan 21 Mei 2019.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang didaulat untuk membuka gelaran ini, amat mengapresiasi inisiatif yang diambil oleh JQH. Pada acara yang dihadiri ratusan Qari dan Hafidz dari seluruh Indonesia ini, Menag menitipkan empat hal untuk dibahas.
Pertama, cara pendidikan terhadap pemahaman Al-Quran yang perlu dilakukan secara masif. "Perlu adanya sosialisasi bagaimana menerjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan tepat," kata Menag, Senin (20/05).
Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi kesalahpahaman yang terjadi selama ini. Menurut Menag, selama ini banyak yang beranggapan bahwa terjemahan atau tafsir Al-Qur'an sama dengan Al-Qur'an itu sendiri. "Padahal seharusnya tidak seperti itu," tuturnya.
Maka menurut Menag, hal kedua yang perlu dibahas para ahli Al-Qur'an adalah melakukan kontekstualisasi Al-Qur'an dengan realitas kehidupan manusia.
"Hal yang dilakukan adalah penjelasan secara masif bagaimana pengkontekstualisasian Al-Qur'an dengan realitas kehidupan kita. Sehingga teks-teks itu tidak hanya sekedar teks, tapi dikontekstualisasikan dengan realitas atau kehidupan nyata," imbuh Menag.
Menag berharap hal ini dapat dilakukan mengingat Al-Qur'an memiliki relevansi yang tinggi sebagai rujukan utama dalam kehidupan.
Ketiga, forum ini diharapkan Menag dapat membahas bagaimana Al-Qur'an harus dijadikan sebagai rujukan dalam menyikapi isu-isu klasik maupun aktual yang sedang terjadi.
“Isu-isu keadilan, relasi antara negara dengan agama, isu gender, isu hak asasi manusia, relasi agama dengan budaya, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya. Isu itu bisa dirujuk ke dalam Al-Qur’an dan bagaimana Al-Qur’an menjadi acuan dalam menyikapi isu-isu aktual itu," ujar Menag.
Terakhir, menag mengatakan publik atau umat Islam khususnya perlu memiliki pemahaman yg cukup, terutama ilmu-ilmu apa saja yang diperlukan dan dikuasai terkait tiga poin yang sudah disebutkan di atas.
Maka, hal keempat yang menurut Menag perlu dibahas adalah perlu diperhatikannya prasyarat yang wajib dimiliki seorang penerjemah dan penafsir Al-qur’an.
“Menerjemah Al-Qur’an tidak bisa dilakukan sembarangan. Itu perlu ilmu yang sangat luar biasa, dan diperlukan ilmu yg beragam. Bahasa Al-qur’an itu adalah bahasa yg tinggi," jelasnya.
Menag berharap, empat poin tadi dapat dibahas dengan seksama oleh para ahli Qur'an, untuk kemudian disosialisasikan secara masif.
"Sehingga bagi rumah-rumah Al-Qur'an tidak hanya belajar dan menghapal Al-Qur'an atau memperbaiki tilawah saja. Namun yang tidak kalah pentingnya, bahkan jauh lebih penting, yaitu pemahaman terhadap kandungan Al-Qur'an," tandas Menag.
Di sinilah menurut Menag perlunya kurikulum untuk mempelajari pemahaman Al-Qur'an.
Ia menambahkan jika lembaga-lembaga Al-Qur'an dan rumah tahfidz yang selama ini berkontribusi dalam menyebarkan nilai-nilai Al-Qur'an, dilengkapi kurikulum pemahaman Al-Qur'an yang baik, maka setidaknya lembaga tersebut menjamin outputnya pasti sudah melewati kurikulum tersebut.
"Ini cukup untuk membuat umat memahami isi atau esensi dari AL-Qur’an. Sehingga tidak ada kesalahgunaan pengggunaan Al-Qur'an," harap Menag.
Upaya yang dilakukan dalam rangka mencerahkan pemahaman umat dan membentuk generasi yang memahami Al-qur’an secara berkualitas, dapat dilakukan dengan cara antara lain penyebarluasan kurikulum pemahaman Al-Qur’an.
Ini dapat dilakukan melalui buletin-buletin Jum’at, kandungan khutbah khotib-khotib shalat Jumat yang substantif, forum-forum kajian, dan mengefektifkan penyebaran informasi secara digital lewat media-media sosial.