Oleh: Slamet Tuharie
TRIBUNNEWS.COM - Islam dan filantropi merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perintah agama melalui dalil-dalil naqli tentang filantropi, baik yang bersifat wajib (zakat) maupun yang sunnah (infaq dan shadaqah).
Tak hanya sekadar perintah, filantropi pada masa itu kemudian diwujudkan dalam sebuah kelembagaan yang disebut dengan Baitul Maal yang berarti lembaga pengelola keuangan negara.
Lembaga ini, tidak saja mengelola zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) namun juga wakaf, ghanimah, dan dana umat lainnya.
Awalnya, Baitul Maal yang berdiri pada tahun 2 H merupakan respon atas dinamika para sahabat waktu itu yang menyoal tentang mekanisme dan proporsi pembagian ghanimah perang badar.
Dengan kata lain, Baitul Maal adalah wujud implentatif dari perintah al-Qur’an tentang pengelolaan keuangan umat.
Namun, pada perkembangannya, Baitul Maal kemudian mampu menjadi sebuah kekuatan ekonomi umat Islam yang luar biasa karena di dalamnya tidak saja mengelola keuangan yang bersumber dari zakat maal dan zakat fitrah, namun juga infaq, shadaqah, wakaf, jizyah (pembayaran dari non-Muslim dalam rangka jaminan perlindungan keamanan), kharraj (pajak atas tanah atau hasil tanah), dan lain sebagainya.
Q.S. al-Anfal: 41 yang menjadi dasar atas pendirian Baitul Maal, menurut penulis, tidak saja spesifik menyebutkan tentang siapa-siapa saja yang berhak menerima ghanimah, tapi juga tentang prinsip pemerataan dan keadilan.
Bahkan dalam perkembangannya, Baitul Maal tidak hanya menjadi penyalur keuangan umat yang bersifat karitatif, tapi juga mengatur keuangan negara yang bersifat praktis dan produktif.
Hal ini mengingat posisi Baitul Maal yang menjadi lembaga resmi pemerintah yang memiliki tanggungjawab untuk mengatur keuangan pemerintah hingga masyarakat.
Baitul Maal di Masa Nabi dan Khalifah Abu Bakar
Pada masa Nabi saw, Baitul Maal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran.
Bahkan, pada masa Nabi saw, Baitul Maal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak.
Artinya, pengelolaan Baitul Maal pada masa Rosulullah saw, masih ‘sederhana’. Di samping karena alasan aset yang belum begitu banyak, perlu disadari bahwa Baitul Maal pada masa Nabi adalah sebuah embrio atas lembaga keuangan umat Islam, sehingga di masa-masa berikutnya dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan secara lebih menyeluruh.
Bahkan, pada masa Nabi saw., kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka.
Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima (1/5) bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa pernah menunda-nunda.
Inilah yang membuat pengelolaan Baitul Maal masih praktis dan tidak sekomplek pada zaman-zaman sepeninggal Nabi saw.
Positioning Baitul Maal—secara lebih luas baik secara fungsi dan wewenangnya—mulai berlaku ketika masa Abu Bakr ash-Shiddiq menjabat sebagai khalifah (632-634 M).
Hal ini dibuktikan ketika kepemimpinannya baru berjalan 6 bulan lamanya, Abu Bakar pindah ke pusat kota Madinah dan bersamaan dengan itu ia membangun sebuah Baitul Maal.
Dan sejak saat itu, kebutuhan keluarga Khalifah Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari Baitul Maal tersebut. Saat itu, Abu Bakar diperbolehkan mengambil dua setengah (2 ½) atau dua tiga perempat (2 ¾) dirham setiap harinya dari Baitul Maal.
Namun ternyata tunjangan (ta’widh) tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan 6.000 dirham per tahun.
Oleh karena konsennya Khalifah Abu Bakar terhadap keuangan umat, maka dua tahun periode Abu Bakar memerintah diawali dengan menyelesaikan problem keuangan public.
Bahkan ia terjun langsung memerangi orang-orang yang murtad, nabi palsu, dan orang-orang yang enggan membayar zakat.
Hal ini sekaligus menjadi bukti dari konsistensi Abu Bakar ash-Shiddiq yang secara tegas mendukung kebijakan ekonomi yang pernah diputusan pada masa Nabi Saw.
Selain dengan kebijakan penagihan zakat kepada para muzakki sebagai program hulunya, Khalifah Abu Bakar juga menerapkan program hilir sebagai implementasi pentasharufan-nya yang diwujudkan dengan sistem penghitungan pengumpulan dan pendistribusian zakat yang akurat melalui Baitul Maal.
Bahkan, dana yang ditampung di Baitul Maal pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq selalu didistribusikan sampai habis tidak tersisa.
Pada tahun kedua kekhalifahannya (12 H/633 M), Abu Bakar mengembangkan Baitul Maal dalam arti yang lebih luas.
Bukan lagi sekadar pihak pengelola harta umat, namun lebih dari itu, Baitul Maal diposisikan sebagai tempat penyimpanan harta negara.
Saat itu, Baitul Maal sudah difungsikan sebagai institusi yang secara resmi mengatur jalannya arus keuangan Negara.
Pada tahun kedua pula, Abu Bakar juga menyiapkan tempat khusus di rumahnya yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan harta yang dikirimkan ke Madinah. Akan tetapi, tempat penyimpanannya masih sangatlah sederhana, yakni hanya berupa karung atau pun kantung. Aktivitas itu pun terus berlangsung hingga ia wafat pada 13 H/634 M.
Abu Bakar ash-Shiddiq selain memiliki kebijakan strategis tentang ‘jemput bola’ pada muzakki, juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat.
Kebijakan ‘jemput bola’ Abu Bakar ash-Shiddiq diberlakukan secara tegas dan menyeluruh kepada seluruh umat Islam saat itu, termasuk Badui (a’rabi) yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan membayar zakat sepeninggal Rasulullah saw.
Terkait dengan pengelola zakatnya (Amilin), Abu Bakar mengintruksikan pada para amil bahwa kekayaan dari orang yang berbeda tidak dapat digabung, atau kekayaan yang telah digabung tidak dapat dipisahkan.
Hal ini karena kehati-hatian Abu Bakar yang khawatir jika terjadi kelebihan pembayaran atau kekurangan penerimaan zakat.
Kemudian, hasil dari pengumpulan zakat itulah yang oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum Muslimin hingga tidak ada yang tersisa.
Adapun terkait dengan pendistribusian harta Baitul Maal, Abu Bakar ash-Shiddiq menggunakan prinsip kesamarataan, yakni jumlah yang diberikan kepada semua sahabat besarannya sama.
Tidak ada perbedaan antara sahabat yang lebih dahulu memeluk Islam dan yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, ataupun antara pria dengan wanita.
Dengan prinsip pendistribusian yang seperti ini, maka seluruh kaum Muslimin diberikan bagian hak yang sama dari hasil pendapatan negara.