TRIBUNNEWS.COM - Perempuan diciptakan dengan citra Ilahi yang lebih tinggi dibanding kaum laki-laki.
Sosoknya yang unik, mampu menaklukkan hati Sang Nabi SAW, dalam kata-katanya:
“Aku diciptakan untuk mencintai tiga hal: shalat, wewangian, dan perempuan.” Kehadirannya di bumi bukanlah sekadar pelengkap, bukan pula teman belakang yang dipanggil kala dibutuhkan.
Dia teman berbagi sekaligus sahabat dekat dalam segala kondisi.
Kasih sayang dan kelembutannya menjadi rahim bagi seluruh umat manusia di bumi. Spiritualitasnya membiuskan kecerdasaran para ilmuwan, menghidupkan alam semesta, dan membebaskan umat dari kebodohan panjang.”
Umat Islam seluruh dunia mengetahui bahwa Al-Quran adalah kitab suci mereka.
Akan tetapi, tidak semuanya mengerti dan memahami kandungan yang ada di dalamnya.
Sebagian menganggapnya sebagai kitab yang hanya digunakan untuk ibadah sebatas membaca dan merapalkan ayat-ayat di dalamnya.
Padahal lebih dari itu, Al-Quran adalah petunjuk kehidupan; mengatur bagaimana manusia berinteraksi dengan sesama makhluk, meminta maaf atas kesalahan, dan bertoleransi dengan penganut agama lain.
Bahkan, ia mengatur persoalan rumah tangga, posisi, dan hak-hak individu antara laki-laki dan perempuan. Semua itu termuat di dalam Al-Quran.
Gana Islamika menulis bagi sebagian kalangan, keterbatasan bahasa Al-Quran yang cenderung bias terhadap persoalan perempuan ini memunculkan polemik baru dalam ranah interpretasi.
Al-Quran dipandang sebagai kitab yang hanya menyuarakan kelelakian, dan memarginalkan perempuan.
Terlebih sepanjang sejarahnya, tidak ada satu pun perempuan yang “dianggap” terlibat dalam proses, penulisan, pengumpulan, hingga penafsirannya.
Nama mushaf Hafshah binti Umar sendiri tidak banyak terekspos dan terekam dalam sejarah kodifikasi.
Terbukti, jarang ada—bukan berarti tidak ada—data-data sejarah yang menuliskan secara panjang lebar tentang peranannya, kecuali hanya sepenggal-sepenggal.
Hal ini mendorong para perempuan era kontemporer untuk membaca kembali Al-Quran dengan perspektif perempuan.
Spirit Hafsha binti Umar sebagai salah seorang perempuan cerdas di pusaran Nabi ini membangkitkan para perempuan untuk turut ambil bagian dalam pembacaan ulang atas Al-Quran dengan sudut pandang yang berbeda.
Termasuk dalam penerjemahan Kitab Suci umat Islam ini. Maka, muncullah sejumlah nama penting dalam ruang kajian Al-Quran, seperti Bintu Syathi’, Kariman Hamzah, Asma Barlas, Amina Wadud, dsb.
Sementara itu, dalam ranah penerjemahan Al-Quran, Rim Hassen menuliskan setidaknya ada empat perempuan yang menerjemahkan Al-Quran secara mandiri, di antaranya: Umm Muhammad, Camille Adams Helminski, Taheereh Saffarzadeh, dan Laleh Bakhtiar.
Umm Muhammad
Dia lahir di California selatan pada tahun 1940, dan masuk Islam pada tahun 1974 di Suriah.
Pada tahun 1981, dia pindah ke Arab Saudi, dan mengajar studi Tafsir dan Fikih dasar di Islamic Centre di Jeddah sejak 1991.
Dia tinggal bersama suaminya di Jeddah, dan mempunyai anak-cucu yang menetap di berbagai belahan dunia. Umm Muhammad telah menulis dan menyunting lebih dari 80 buku Islam dalam bahasa Inggris, yang sebagian besar diterbitkan oleh penerbit Dar Abul-Qasim.
Salah satunya A Brief Introduction to Tajweed (1997), sebuah buku yang mengajar cara pelafalan aksara Arab dan dasar-dasar Tajwid dan Qiraat Al-Quran.
Terjemahan Al-Quran dalam bahas Inggris karya Umm Muhammad. Photo: Islamic Bookstore
Pada tahun 1995, Umm Muhammad menelorkan karya monumental berupa terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris.
Karya tersebut dia beri judul: The Quran: Arabic Text with Corresponding English Meaning, yang diterbitkan oleh Dar Abul Qasim.
Karya ini bermula dari kegelisahannya ketika pertama kali datang ke Jeddah melihat banyaknya Muslim yang berbahasa Inggris.
Kegelisahannya pun semakin memuncak tatkala dia direkrut sebuah Islamic Centre untuk mengajar materi-materi keislaman.
Dia pun sadar akan kebutuhan dengan materi cetak dalam bahasa Inggris yang bisa dipahami para siswa.
Dan secara kebetulan dia juga bekerja pada organisasi amal yang secara berkala mengirimkan informasi apa pun yang dapat mereka temukan dalam bahasa Inggris kepada individu, organisasi, dan sekolah di beberapa negara Afrika.
Hal itu mendorongnya untuk sering pergi ke toko buku Abul Qasim mencari bacaan-bacaan yang cocok untuk dikirim ke Afrika sekaligus untuk Islamic Centre tempat dia bekerja di sana.
Karena keterbatasan koleksi dalam bahasa Inggris, maka pihak penerbit memintanya dan dua rekan lainnya untuk menuliskan beberapa buku kecil yang mengajarkan doa-doa dan mata pelajaran dasar lainnya untuk diterbitkan. Itulah awal mula dia berkenalan dengan Saheeh International yang kemudian memproduksi karya terjemahannya.
Namun demikian, ketika pihak penerbit menawarkan penerjemahan Al-Quran yang lebih baik dan mudah daripada yang sudah ada, dia dengan tegas menolaknya.
Dia merasa bahwa itu bukan kapasitasnya. Akan tetapi, pihak penerbit dan beberapa kolega perempuan terus mendorongnya, dan menyarankannya untuk istikharah.
Tiga tahun berselang dengan tidak henti-hentinya melakukan istikharah, maka dia pun yakin bahwa Allah akan membuat segalanya menjadi mungkin.
Segera setelah itu, penerbit pun menyodorkan beberapa referensi berbahasa Arab. Lalu, dua kolega lainnya mengetik, mengoreksi, dan memberikan saran secara suka rela.
Mereka bekerja siang dan malam selama hampir tiga tahun sampai edisi pertama disetujui untuk dicetak.
Tanpa banyak waktu untuk mengulasnya kembali, beberapa koreksi dan perbaikan harus menunggu sampai cetakan berikutnya.
Tak lama setelah karya terjemahan itu terbit, seorang pembaca bertanya berkenaan dengan pilihan kata-katanya dalam QS An-Nur [24]: 30-31 tentang menundukkan pandangan dengan ungkapan “reduce [some] of their vision.”
Dalam hal ini dia menjelaskan bahwa terjemahan yang lebih umum adalah “lower their gaze (merendahkan pandangan mereka)” yang juga dapat diterima sebagai kata kerja yang berarti merendahkan, mengurangi, atau menurunkan.
Menurutnya, kata “eyesight” atau “vision” dalam bahasa Arab lebih dekat daripada “gaze.” Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa sisipan “min” yang berarti dari “from or of” menunjukkan bahwa seseorang tidak bisa membatasi semua pandangannya, tetapi sebagian darinya. Dalam arti, hanya mencegah atau menghindari sesuatu yang diharamkan untuk dilihat.
Selanjutnya, dalam proses penerjemahan ini dia tidak menjelaskan secara spesifik ayat manakah yang paling sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Menurutnya, secara umum ekspresi bahasa Arab yang paling indah merupakan hal yang paling sulit untuk diterjemahkan. Sementara terjemahan harfiah yang muncul seringkali tidak masuk akal dalam alih bahasa tersebut.
Ketika masalah seperti itu muncul, dia harus sedikit mengkompromikan kata-kata dengan menambahkan penjelasan dalam catatan kaki.
Berkenaan dengan makna atau tafsir ayat yang dia sukai, dia tidak menjelaskan secara tegas.
Hanya saja dia mengatakan bahwa semua ayat itu bergantung pada tujuan di balik makna yang tersurat, dan kemungkinan hal itu tidak terbatas.
Akan tetapi sebagai contoh, dia sering mengingatkan dirinya dan orang lain tentang QS al-Furqan [25]: ayat 20, “…dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.”
Pada akhirnya, Umm Muhammad adalah perempuan pertama yang melakukan akitvitas alih bahasa terhadap Al-Quran. Hasil karyanya yang luar biasa ini terus menginspirasi bagi munculnya karya terjemahan Al-Quran dari kalangan perempuan.
Sebagai tenaga pengajar dalam studi Islam, dia terus memotivasi murid-muridnya untuk selalu memaksimalkan bakat yang mereka miliki.
Terlebih, dia berangkat dari seorang muallaf yang terus berjuang mempelajari agama barunya, bahkan sampai benar-benar menguasai.
Semula Umm Muhammad merasakan kesulitan dalam menghafal Al-Quran, tetapi dia tidak patah arang dan berusaha keras menghafalkannya, meski dengan hasil yang—menurutnya—kurang memuaskan.
Dia pun menemukan betapa banyak hal lain yang dapat dia lakukan yang orang lain tidak bisa melakukannya. Lebih dari itu, dia seringkali menjadi motivator bagi dirinya sendiri dan para muridnya yang merasa harus menekuni keilmuan Islam dan keluar dari konsentrasi studi sebelumnya.
Namun, dia mendorong mereka untuk tetap fokus pada bidang studi yang mereka geluti.
Karena Islam membutuhkan orang-orang dalam semua bidang, yang mana mereka bisa berjuang dan berdakwah melalui jalan tersebut.
Mereka dapat mengambil contoh-contoh dalam lintasan sejarah Islam yang baik dalam spesialisasi mereka sendiri yang paling dibutuhkan. Seorang Muslim perlu menyebarkan Islam dalam setiap bidang kehidupan.
Dan mereka bisa tetap dalam spesialisasi mereka sendiri sekaligus mempelajari Islam dalam waktu bersamaan. Wallahu a’lam bish shawab. (KHI)
Tulisan telah dipublikasikan di Gana Islamika dengan judul
Al-Quran dan Perempuan (2): Para Perempuan Penerjemah Al-Quran (1)