Oleh: Slamet Tuharie
TRIBUNNEWS.COM - Pada masa Umar Ibn Khattab, harus diakui bahwa ada beberapa terobosan terkait pengelolaan Baitul Maal.
Baik dari sisi penataan manajerial kelembagaan, manajemen administrasi, strategi penghimpunan yang mendekatkan masyarakat, juga pentasharufan yang tidak saja berdimensi karitatif, tapi juga produktif dan berorientasi jangka panjang.
Salah satunya adalah dengan kebijakan pinjaman tanpa bunga untuk urusan komersial.
Hal lain yang harus diapresiasi lainnya adalah kemampuannya membentuk departemen-departemen yang menyalurkan dana umat untuk kepentingan hidup masyarakatnya, termasuk semua orang sakit, usia lanjut, cacat, yatim piatu dan janda atau yang oleh suatu sebab tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Kebijakan ini bisa dikatakan sebagai terobosan luar biasa pada masanya, di mana pemerintah hadir untuk memberikan jaminan kehidupan bagi rakyatnya di semua level kebutuhan ekonominya.
Dengan kata lain, hasil nyata dari kebijakan Umar Ibn Khattab terkait dengan pemanfaatan dana Baitul Maal adalah pemerataan ekonomi bagi seluruh warganya.
Hal inilah yang kemudian berbeda dengan kondisi pasca Umar Ibn Khattab yang tampuk kepemimpinannya digantikan oleh Usman bin Affan (644-656 M).
Salah satu yang paling mencolok dan dianggap kontroversial adalah ketika Dewan Pengurus Baitul Maal yang dibentuk di masa Umar Ibn Khattab dimutasi dari jabatannya.
Tentu saja, Pemutasian ini mengakibatkan pendistribusian pemasukan dan pengeluaran keuangan Negara menjadi kacau.
Dampak terbesarnya adalah orang-orang yang selama masa kepemimpinan Umar Ibn Khattab mendapatkan tunjangan dari Negara, terputus di masa Khalifah Utsman Ibn Affan.
Ketua Dewan Pengelola Baitul Maal, yang pada masa Umar dikelola dijabat oleh Abdullah Ibn Arqam—yang terkenal sangat jujur dan berpotensi dalam mengelola Baitul Maal—ditiadakan di masa Khalifah Utsman. Selanjutnya, pengelolaan Baitul Maal ditangani langsung Sang Khalifah.
Diakui atau tidak bahwa masa Usman Ibn Affan, pengelolaan Baitul Maal mengalami kemunduran dari sisi manajerial kelembagaan.
Hal ini bisa dibandingkan dari zaman Umar Ibn Khattab tentang pemisahan status pengambil kebijakan dan pelaksana administrasi yang dilakukan oleh orang yang berbeda.
Sehingga, Khalifah hanya menjadi pengambil keputusan dan pengawas, sementara pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan keuangan dilakukan oleh Ketua Baitul Maal yang setara dengan Menteri Keuangan.
Terkait dengan pencopotan Abdullah Ibn Arqam dari Ketua Baitul Maal tentu saja dikecam oleh tokoh-tokoh masyarakat. Kecaman tersebut muncul karena Abdullah Ibn Arqam dikenal sebagai orang yang sangat jujur dan sangat disiplin dalam menjalankan tugas.
Karakter dan kepribadian Abdullah Ibn Arqam itulah yang menyebabkannya mendapat kepercayaan dari masa Nabi sampai Khalifah Umar Ibn Khattab untuk mengelola Baitul Maal.
Selain penghapusan Ketua Dewan Baitul Maal yang kemudian kendalinya dipegang langsung oleh Khalifah Utsman, kebijakaan Utsman yang kontroversial terkait dengan pengelolaan Baitul Maal adalah pengambilan uang yang berasal dari Baitul Maal untuk keluarganya dan juga pemberian gaji pegawai pemerintahan secara besar-besaran.
Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai alasan pencopotan Abdullah Ibn Arqam dari Ketua Dewan Baitul Maal karena disinyalir akan mempersulit kebijakan Khalifah Utsman.
Bahkan, pengelolaan uang Baitul Maal yang tidak professional saat itu, berdampak kepada tidak adanya uang yang dapat dibagi lagi untuk rakyatnya yang selama ini mendapat tunjangan dari pemerintah di masa Khalifah Umar Ibn Khattab.
Namun, pendapat lain menyatakan bahwa sebenarnya pada zaman Utsman Ibn Affan, sistem pemberian bantuan dan santunan tetap dipertahankan dan dilakukan kepada masyarakat.
Hanya saja, jika pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar Ibn Khattab lebih dilakukan dengan pendekatan pemerataan dan persamaan, maka Utsman Ibn Affan menetapkan bantuan yang berbeda antar satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Satu hal yang harus diapresiasi bahwa Usman Ibn Affan terkait dengan kebijakannya terkait dengan Baitul Maal adalah pilihannya untuk tidak mengambil upah dari kantornya.
Sebaliknya, ia meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara.
Hanya saja, hal ini kemudian menjadi masalah baru ketika Utsman Ibn Affan melakukan penyimpanan uang pribadi di bendahara negara.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan kesalahfahaman dan ketidakcocokan dengan Abdullah Ibn Arqam yang merupakan bendahara Baitul Maal.
Ketidakcocokan ini tidak hanya berimbas pada sikap Abdullah Ibn Arqam yang tidak saja menolak upah dari pekerjaannya, tapi juga keputusannya itu menolak hadir pada setiap pertemuan publik yang dihadiri Khalifah.
Permasalahan tersebut semakin rumit ketika muncul berbagai pernyataan kontroversional mengenai pembelanjaan harta Baitul Mal yang tidak hati-hati yang dilakukan oleh Utsman Ibn Affan.
Sewaktu kebijakan tersebut diprotes oleh masyarakat, Khalifah Utsman menyatakan: “Abu Bakar dan Umar memiliki kebijaksanaan yang ketat dalam harta Negara baik untuk diri sendiri maupun keluarga, sedangkan aku mempunyai kebijaksanaan tersendiri, yaitu menghubungkan silaturrahmi”.
Tak hanya itu, kebijakan Khalifah Utsman yang juga kontroversial terkait dengan kebijakan ekonominya adalah ketika membagi-bagikan tanah Negara kepada kaum kerabatnya dan sebagian ada juga yang diperjualbelikan.
Seperti, kebijakan Khalifah Utsman memberikan tanah Fadaq kepada Marwan Ibn Hakam dan memperbolehkan Muawiyah mengambil alih tanah Negara di semua wilayah Syiria, suatu hal yang sebelumnya dilarang keras oleh oleh Umar karena harta hasil rampasan perang harus dijadikan sebagai harta Negara.
Adapun harta Negara yang diperjualbelikan adalah tanah Negara yang ada di Kufah dan Basrah yang dijual kepada Talhah dan Zubeir.
Akibatnya banyak keluarga Muawiyah yang kaya mendadak, sementara banyak rakyat yang mendadak menjadi miskin.
Hal ini karena tanah yang biasa menjadi lahan garapan bagi para petani dan merupakan asset umat Islam kemudian dialihkan menjadi aset pribadi para kerabat Khalifah.
Pada masa inilah—ketika Khalifah Ustman mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih dekat dengan faktor kekeluargaan dari pada profesionalitas—berdampak pada kondisi politik pemerintahan yang tidak stabil dan kemerosotan ekonomi.
Hal ini terjadi sampai paruh kedua kepemimpinannya yang juga belum membalikkan kondisi ekonomi masyarakatnya.
Berbagai kebijakan Khalifah Utsman dianggap terlalu banyak menguntungkan keluarganya hingga menimbulkan kekecewaan sebagian besar kaum Muslimin.
Akibatnya, pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah di tahun 656 M.
Kondisi pengelolaan Baitul Maal kemudian dikembalikan seperti zaman Khalifah Umar Ibn Khattab ketika Ali Ibn Abi Thalib menjadi Khalifah keempat menggantikan Utsman Ibn Affan.
Khalifah Ali Ibn Abi Thalib berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Bahkan, ia secara sukarela menarik diri dari daftar penerima bantuan Baitul Maal. Kebijakan lain yang cukup inovatif terkait dengan ekonomi yang dikeluarkan oleh Ali Ibn Abi Thalib adalah dengan menetapkan pajak terhadap hasil hutan dan sayuran.
Kebijakan ini dilaksanakan oleh Ibnu Abbas, Gubernur Kuffah yang kemudian memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu masakan.
Selain itu, Ali Ibn Abi Thalib juga kembali menata sistem administrasi Baitul Maal dengan sangat baik, mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
Sinergi yang optimal antara pusat dan daerah telah berhasil menjadikan pendapatan Baitul Maal mengalami surplus.
Ali Ibn Abi Thalib juga mengembalikan sistem tunjangan atau bantuan sosial pada dengan sistem pemerataan tanpa memandang status sosial dan kedudukannya dalam Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq.