TRIBUNNEWS.COM - Al-Fatihah adalah surat pertama dalam Alquran. Pada saat yang sama, Al-Fatihah adalah pembuka kitab wujud, dan Allah menjadikannya kuncinya.
Disebut juga ibunya Alquran, karena ibu adalah lokus perwujudan. Dan Alquran selebihnya adalah wujud itu.
Sedang basmalah adalah pembuka/awal dari Al-Fatihah. Proses penciptaan, yang dibuka dengan Al-Fatihah, diawali dengan basmalah ini. Dengan nama “Allah” bermulalah penciptaan.
“Allah” adalah al-ism al-jaami (Nama Penggabung) seluruh nama Allah. Di dalamnya ada juga sifat-sifat keras (jalaliyah) Allah yang menakutkan, selain sifat-sifat jamaliyah-Nya yang indah dan memesona – utamanya adalah sifat kasih-sayang itu.
Demikianlah, dalam Alquran, Allah terkadang menampilkan sifat-sifatNya yang menakutkan ini.
Maka, terkait dengan ini, bismillah yang ada/mengawali setiap surat – kecuali dalam Surat Al-Tawbah, yang digantikan dengan penyebutan di tengah Surat An-Naml – adalah penawar terhadap penampilan keras Allah SWT itu.
Kenapa basmalah jadi penawar? Karena Allah sengaja mengeluarkan dan mendampingkan ism penggabungnya – yakni Allah, yang menyimpan sifat-sifat kerasnya itu – dengan mengeksplisitkan dua sifat rahmah – yang sesungguhnya sudah terkandung juga dalam ism Allah itu.
Yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Jadi, dalam hal ini, sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim – yang, sudah terkandung secara implisit dalam ism Allah dan sejatinya sudah ada dan menjadi penawar dari sifat-sifat Allah yang keras, yang juga ada dalam ism Allah itu – di-lahir-kan lagi secara eksplisit untuk menekankan dominasi sifat-sifat kasih sayang Allah atas sifat-sifat kerasnya itu.
Keberadaan basmalah di awal Al-Fatihah ini seolah menunjukkan bahwa “niat” Allah dalam penciptaan adalah tidak lain untuk mencurahkan kasih sayang-Nya kepada makhluk.
Sekarang, apa beda Ar-Rahman dan Ar-Rahim? Ar-Rahmanadalah kasih Allah secara umum, yang merupakan bagian dari paket penciptaan – yang bekerja, baik di dunia maupun di akhirat. Semua makhluknya mendapatkan sifat Rahman ini.
Dengan kata lain, semua makhluk – tak peduli beriman atau kafir, baik atau jahat – akan mendapatkan semua rizki yang dibutuhkannya untuk dapat survive di dunia dan di akhirat.
Dan ini berarti Allah boleh jadi akan menimpakan kesusahan justru demi menjadikannya mampu survive. Tapi, Ar-Rahimadalah kasihNya khusus di akhirat, bagi orang beriman, yang perwujudannya tak lain adalah kebahagiaan murni.
Yakni bagi orang-orang yang, meskipun tidak bebas dari kesalahan, bertaubat (baik secara ikhtiyari/suka rela maupun idhtirari/terpaksa melalui mekanisme penyiksaan oleh Allah).
Nah, apa beda kata rahmah – yang menjadi akar kata, baik Rahman dan Rahim – dengan Mahabbah dan Wudd?
Rahmah paling tepat diterjemahkan sebagai belas-kasih (compassion). Yang tak peduli pada apakah obyek belas kasihnya sempurna atau tidak.
Belas kasih ini searah, orientasinya memberi secara mutlak, tanpa melihat sifat-sifat yang ada pada yang diberi.
Mahabbah dan wudd memiliki kesamaan dalam hal keduanya merupakan cinta yang lahir dari apresiasi terhadap sifat (kesempurnaan) obyek.
Jadi, berbeda dengan rahmah, masih ada sifat resiprokal dalam mahabbah dan wudd. Nah, mahabbah adalah cinta yg bersifat umum dan abstrak, sedang wudd adalah pengkhususannya dalam bentuk intensitas (kecintaan) yang lebih tinggi sehingga menimbulkan dampak konkret berupa tindakan (kebaikan) dari si pencinta kepada obyek yang dicintainya.
Artikel ini telah tayang di ganaislamika.com dengan judul: https://ganaislamika.com/catatan-tentang-al-fatihah-makna-rahman-rahim-dalam-futuhat-ibnu-arabi/