TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masjid Agung Al Azhar berdiri megah di tengah Ibu Kota. Masjid ini memiliki luas sekira 43.755 meter persegi. Bangunan masjid didominasi warna cat putih. Simbol dari kesucian dan keagungan.
Terdapat tangga di empat penjuru masjid. Bangunan terdiri dari dua lantai: lantai pertama adalah ruang serbaguna, biasa digunakan untuk tempat pertemuan.
Sementara di lantai kedua digunakan sebagai tempat ibadah. Di ruangan besar tersebut terlihat detail ornamen lukisan kaligrafi berbagai warna menghiasi keseluruhan bangunan.
Masjid memiliki langit-langit tinggi. Jendela-jendela kayu mengelilingi dinding ruangan.
Dari sisi dalam kubah terdapat lukisan kaligrafi. Lafaz Allah berada di bagian puncaknya, dikelilingi oleh 99 Asma’ul Husna.
Saat siang dengan mataharinya yang terik, sinarnya masuk dari jendela-jendela kecil. Mengelilingi bagian kubah, memberikan pencahayaan ke dalam masjid.
Bangunan masjid yang dapat menampung sebanyak 5.000 orang jemaah ini, dipengaruhi bentuk bangunan dari Arab Saudi dan Mesir.
Perpaduan gaya arsitektur Masjid Hij' di Saudi Arabia dan Masjid Qibtiyah di Mesir.
Masjid dibangun pada 1953 dan diresmikan pada 1958. Semula masjid bernama Masjid Agung Kebayoran Baru.
Baca: Profil dan Sederet Penghargaan Djoko Santoso, Mantan Panglima TNI Asal Solo
Persahabatan Buya Hamka dan Syekh dari Mesir
Kepala Urusan Rumah Tangga Masjid Agung Al Azhar, Haji Yahya (55) mengatakan sebelum berganti nama menjadi Masjid Agung Al Azhar, masjid ini bernama Masjid Agung Kebayoran Baru.
"Buya Hamka memiliki kedekatan dengan Rektor Universitas Al Azhar Mesir kala itu Syekh Mahmoud Syaltout. Karena Buya Hamka dulu kuliah di sana," ujar Yahya kepada Tribun Network.
Pada 1959 Buya Hamka diundang ke Universitas Al Azhar Kairo untuk mendapat gelar doktor Honoris Causa.
Usai pemberian gelar, Buya Hamka menyampaikan ingin mengundang Syekh Mahmoud Syaltout untuk berkunjung ke Indonesia.
Namun, pihak Universitas Al Azhar menyampaikan Syekh Mahmoud Syaltout, tidak bisa diundang ke Indonesia kecuali diundang oleh Presiden langsung.
Akhirnya Buya Hamka meminta tolong kepada Menteri Agama saat itu, Muhammad Ilyas, untuk mengabulkan keinginannya.
Baca: Lebih Efektif dari PSBB, Bali Punya Strategi Sendiri Kendalikan Wabah Corona
Akhirnya Presiden Soekarno mengundang Syekh Syaltout Baru setahun kemudian Syekh Syaltout mengunjungi Indonesia.
Ia pun datang ke Masjid Agung Kebayoran.
Karena terkesima dengan sahabatnya tersebut, akhirnya Syekh Syaltout berkenan memberikan nama Masjid tersebut dengan nama ‘Al-Azhar’ yang sebelumnya dikenal sebagai Masjid Agung Kebayoran.
"Ketika kunjungan ke Indonesia maka beliau menyempatkan diri ke Masjid Agung Al Azhar. Di saat itu lah Syekh memberi nama Masjid Agung Al Azhar," ujar Yahya.
Syekh Syaltout sangat kagum dengan Hamka.
Nama Al Azhar diberikan olehnya sebab ia melihat ada sebuah kegiatan dakwah di masjid ini yang dilestarikan dan “ditumbuhsuburkan” oleh ulama Indonesia yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo, yaitu Buya Hamka.
"Beliau kagum pada ilmu autodidak yang dimiliki Buya Hamka. Beliau mampu menyampaikan pemikiran Islam yang autentik dan itu sangat menarik perhatian para dosen Al Azhar di Kairo," imbuh Yahya.
Buya Hamka adalah sosok ulama, filsuf, novelis, dan aktivis politik, tak terlepas dari perkembangan pendidikan, pada 1967, saat bangsa Indonesia mengalami masa pasca era Orde Lama.
Ketika itu, Buya Hamka mulai memperjuangkan pendidikan Islam di Masjid Agung Al Azhar.
Kegiatan pendidikan, pembinaan umat dan syiar Islam di Masjid Agung Al Azhar tidak dapat dilepaskan dari peran Buya Hamka, yang merupakan Imam Besar di masjid ini.
Figur Buya dengan ceramah-ceramahnya yang senantiasa membawa kesejukan dengan pilihan kalimat-kalimat yang santun, telah mengikat perhatian umat di berbagai pelosok dearah. (tribun network/denis)