Ibadah puasa sesungguhnya merupakan sarana latihan agar orang beriman mampu mengalahkan godaan nafsu dan setan.
Puasa diperintahkan agar manusia memperoleh pengalaman-pengalaman jasmaniyah dan ruhaniyah yang akan membentuk dan mempertinggi daya kekebalan fisik dan jiwanya, sehingga dia menjadi orang yang sehat secara jasmani maupun rohani.
Inilah manusia takwa yang ingin dicapai melalui ibadah puasa. Jadi, orang yang berpuasa pada hakikatnya adalah orang yang menang dalam arti mampu mengalahkan godaan nafsu dan setan.
Sebagai pemenang, maka di penghujung bulan Ramadhan ini, mereka layak mendapat ucapan selamat dengan
iringan doa: Minal 'Aidin wal Faizin; Selamat kembali kepada jiwa yang suci dan Selamat telah menjadi pemenang di arena jihad akbar melawan godaan nafsu dan setan.
Allâhu Akbar Allâhu Akbar Walillâhilhamd
Jamaah yang dirahmati Allah...
Dalam konsep Islam, Idul Fitri merupakan akhir dari proses panjang berpuasa selama satu bulan penuh, sekaligus juga merupakan awal hidup baru.
Pada hari ini, umat Islam diwajibkan makan dan minum, bahkan diharamkan berpuasa. Tetapi, bukan lantas berarti hakekat puasa -yakni, menahan diri- yang selama ini mereka terapkan dalam berpuasa menjadi berakhir.
Justru, kemampuan untuk menahan diri itu harus terus diasah dan ditingkatkan sampai Ramadhan berikut tahun depan. Begitulah konsep ideal berpuasa.
Hari Raya adalah hari kemenangan dan kejayaan seandainya kaum muslimin dapat meletakkan diri dalam ketaatan, kepasrahan, ketaqwaan dan kasih sayang.
Hari Raya ini akan terus menjadi hari yang penuh dengan berkah dan kebahagiaan sekiranya kaum muslimin terus maju menghadapi masa depan dengan penuh amal sholeh, amal kebajikan dan akhlak yang terpuji.
Hari Raya tidak akan menjadi hari yang berbahagia bagi mereka yang mengekalkan sifat-sifat keji, sifat-sifat buruk,
sifat-sifat tercela, sifat-sifat syaithoniyyah, prilaku tidak bermoral dan tak beradab, seperti khianat, menipu, berbohong, takabbur, dzalim dan semacamnya.
Idul Fitri adalah konsep Sang Khalik untuk memperbarui kehidupan umat manusia dalam nuansa spiritual, bukan dalam nuansa material.
Karena itu, Idul Fitri tidak harus dirayakan dengan mengenakan baju baru atau mobil baru, apalagi jika untuk mendapatkannya seseorang harus menerobos jalur haram atau dengan mengambil sesuatu yang menjadi hak orang lain.
Sekali lagi, Idul Fitri adalah sarana untuk memperbarui dan memperbaiki kualitas kehidupan umat, bukan sebaliknya.