TRIBUNNEWS.COM - Inilah amalan sunnah sebelum dan sesudah shalat Idul Fitri: Makan sebelum shalat hingga berangkat dan pulang lewat jalan berbeda.
Pada Kamis (13/5/2021) hari ini, umat Islam akan merayakan satu hari spesial yaitu Idul Fitri.
Shalat Idul Fitri menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri.
Dosen Ilmu Tarbiyah IAIN Surakarta, Khasan Ubaidilah menerangkan, Idul Fitri merupakan peristiwa penting dan hari besar Islam yang penuh berkah dan kegembiraan.
Baca juga: Amalan Sunnah di Hari Idul Fitri: Makan Sebelum Salat hingga Berangkat dan Pulang Melalui Jalan Beda
Baca juga: Sunah Sebelum Sholat Id Lengkap dengan Tata Cara dan Niat Sholat Idul Fitri 2021
Oleh karena itu, pelaksanaan salat ini dihadiri oleh semua orang Muslim, baik tua, muda, dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan.
Bahkan perempuan yang sedang haid, juga diperintahkan oleh Nabi saw supaya hadir.
Hanya saja mereka tidak ikut salat dan tidak masuk ke dalam shaf salat, tapi ikut mendengarkan pesan-pesan Idul Fitri yang disampaikan oleh khatib.
Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah ia berkata, "Rasulullah saw memerintahkan kami untuk menyertakan gadis remaja, wanita yang sedang haid, dan wanita pingitan. Adapun wanita yang sedang haid supaya tidak memasuki lapangan tempat salat, tetapi menyaksikan kebaikan hari raya dan dakwah yang disampaikan khatib bersama kaum muslimin." (HR. Ahmad)
Terdapat sejumlah amalan sunnah yang bisa dilakukan oleh kaum muslim yang berkaitan dengan pelaksanaan shalat Id.
Syukron Maksum dalam bukunya, Panduan Lengkap Ibadah Muslimah menerangkan, ada beberapa sunnah saat melakukan shalat Ied.
Sunnah tersebut di antaranya yakni, mandi dan berpakaian yang terbaik, makan sebelum shalat, bertakbir dan melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.
Berikut amalan sunnah saat shalat Idul Fitri:
- Mandi dan Berhias Memakai Pakaian Bagus
Orang yang menghadiri salat Idul Fitri baik laki-laki maupun perempuan dituntunkan agar berpenampilan rapi.
Yaitu berhias, memakai pakaian bagus (tidak harus mahal, yang penting rapi dan bersih), dan wangi-wangian sewajarnya.
Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya, Nabi saw selalu memakai wool (Burda) bercorak (buatan Yaman) pada setiap ‘Id. (HR. Asy-Syafi’i dalam kitabnya Musnad asy-Syafi’i).
Diriwayatkan dari Zaid bin al-Hasan bin Ali dari ayahnya ia mengatakan, "Kami diperintahkan oleh Rasulullah saw pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) untuk memakai pakaian kami terbaik yang ada, memakai wangiwangian terbaik yang ada, dan menyembelih binatang kurban tergemuk yang ada (sapi untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang) dan supaya kami menampakkan keagungan Allah, ketenangan dan kekhidmatan." (HR. Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak, IV: 256).
Baca juga: Panduan Pelaksanaan Malam Takbir dan Salat Idul Fitri 2021/1442 H saat Pandemi Covid-19 dari Kemenag
- Makan Sebelum Shalat Ied
Diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yaitu Buraidah bin alHusaib) ia berkata, "Rasulullah saw pada hari Idul Fitri tidak keluar sebelum makan, dan pada hari Idul Adha tidak makan sehingga selesai salat." (HR. AtTirmizi)
Khasan Ubaidilah mengatakan, esensi dianjurkan makan sebelum berangkat salat Idul Fitri adalah agar tidak disangka hari tersebut masih hari berpuasa.
Sementara untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging kurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat Id.
- Berangkat dan Pulang Melewati Jalan yang Berbeda
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari ayahnya dari kakeknya, Nabi saw mendatangi shalat Id berjalan kaki dan beliau pulang melalui jalan lain dari yang dilaluinya ketika pergi. (HR. Ibnu Majah)
Di antara hikmah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara jalan pergi dan pulang adalah agar banyak bagian bumi yang menjadi saksi bagi kita ketika beramal.
"Jalan yang kita tempuh berbeda, sehingga bekas yang timbul dari pejalanan kita tidak terekam di satu titik tapi terekam juga di tempat yang berbeda," kata Khasan.
- Mengumandangkan Bertakbir
Mengumandang takbir atau takbiran pada hari raya Idul Fitri adalah sesuatu yang disyariatkan oleh agama.
Ada dua pendapat dari ulama mengenai waktu dimulainya takbiran.
Pertama, sejak malam setelah maghrib satu hari sebelum salat Idul Fitri dan kedua dimulai saat pagi hari ketika menuju salat Ied.
Berbeda dengan Idul Adha yang kumandang takbir juga digemakan saat hari tasrik hingga 13 Dzulhijah.
Pada Idul Fitri, setelah salat Id selesai, maka setelah itu tidak ada lagi takbir.
Baca juga: Panduan Khutbah dan Ketentuan Pelaksanaan Salat Idul Fitri tahun 2021 Berdasarkan Fatwa MUI
Muhammadiyah dalam situs resminya menjelaskan, lafadz takbir 'Ied yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw adalah:
a. Lafadz takbir ‘Ied seperti disandarkan kepada Ibn Mas’ud, ‘Umar ibn al-Khattab dan ‘Ali ibn Abi Thalib, di antaranya adalah sebagai berikut:
اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.
“Allahu akbar allahu akbar, la ilaha illallah wallahu akbar alllahu akbar walillahil hamd”
Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagi Allah-lah segala puji.”
Ucapan Allahu Akbar dalam takbir ‘Ied pada redaksi hadits di atas jelas hanya diucapkan dua kali, tidak tiga kali.
b. Lafadz takbir ‘Ied sesuai hadits riwayat Abdur Razaq dari Salman dengan sanad yang shahih, yang mengatakan:
كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Artinya: “Bertakbirlah: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Sungguh Maha Besar. (lihat ash-Shan’aniy, Subul as-Salam, Juz II: 76)
كَبِّرُوْا، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Artinya: “Bertakbirlah: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Sungguh Maha Besar. (lihat al-Baihaqi,Sunan al-Kubra, Juz III: 316)
Sementara itu, ada pula bacaan takbir yang lebih panjang lagi, yaitu Allahu Akbar Kabira wal-hamdu lil-Lahi katsira… dan seterusnya sampai wa lau karihal-kafirun, musyrikun dan lain-lain.
Berikut lafal lengkapnya.
اللّه أكْبَرُ كَبيراً، والحَمْدُ لِلَّهِ كَثيراً، وَسُبْحانَ اللَّهِ بُكْرَةً وأصِيلاً، لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَلا نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدينَ وَلَوْ كَرِهَ الكافِرُون، لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأحْزَابَ وَحْدَهُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللّه واللَّهُ أكْبَرُ
“Allahu akbar kabira, wal hamdulillahi katsira, wa subhanallahi bukrataw wa ashila, la ilaha illallah, wa la na’budu iyyahu mukhlisina lahud din, wa law karihal kafirun, la ilaha illlallah wahdah, shadaqa wa’dah, wa nashara ‘abdah, wa hazamal ahzab wahdah, la ilaha illallah wallahu akbar”
Namun demikian, Muhammadiyah berpendapat, belum menemukan dasar atau dalil yang secara jelas menuntunkan bertakbir hari raya dengan lafaz demikian.
(Tribunnews.com/Tio)
Berita lainnya seputar Hari Raya Idul Fitri