Dua Tahun Setelah Tsunami Menerjang Mentawai (3)
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - PAGI nan indah. Mendekati pukul 06.00, secercah cahaya jingga mulai tampak di ufuk timur. Matahari bangkit, perlahan menampakkan diri. Sinarnya sedikit demi sedikit terpancar dari balik lereng bukit, tepatnya Pulau Bakat Manuang sebelah timur dermaga Sikakap, Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat. Dedaunan nyiur melambai, seakan menggerakkan sinar matahari.
Gemuruh ombak menderu, berkejaran di tepi pantai, terdengar sayup memecah keheningan. Sungguh menambah indanya mata hari pagi. Sunrise yang indah. Selasa (26/2/2013).
Anak-anak sekolah dasar SD Santo Vincentius Sikakap mulai bertadangan. Sebagian diantarkan orang tuanya menumpang sepeda motor, sebagian lainnya jalan di tepian laut, ada juga anak-anak yang tinggal di asrama, di kompleks Paroki Santo Maria Assumpta Sikakap.
Murid-murid bertingkah riang, kejar-kejaran dan bermain di halaman sekolah adalah pemandangan hidup yang menambah keasyikan tersendiri sembari menikmati sarapan pagi di lantai dasar pastoran Sikakap.
Hari itu waktu yang ditunggu-tunggu. Rombongan kami akan menuju Dusun Mangkaulu untuk peletakan batu pertama pembangunan gedung sekolah dasar bantuan para pembacara Tribun Network yang dihimpun dalam Dana Kamanusiaan Tribun untuk korban bencana banjir Wasior, tsunami Mentawai dan letusan Gunung Merapi, tahun 2010.
Pukul 07.45 WIB, saya, Pitos, Romo Alex, Romo FX Hurrint Pei Pr, Simon dan lainnya menuju dermaga khusus pastoran, di depan gereja, sekitar 500 meter sebelah timur pelabuhan kapal kayu Sikakap. Di sana terparkir satu unit alat transportasi laut, speedboat kayu dua mesin masing-masing bertenaga 40 tenaga kuda (PK). Tenaga boat ini setara 80 kuda. Boat sepanjang 11,5 meter, cat minyak warna hijau. Bagian dalam cat putih, terdapat lima deret bangku kayu, masing-masing dapat diduduki 3 orang dewasa.
Boat lepas tali pukul dan berangkat 07.50 WIB. Hari itu, penyaluran tahap keiga bantuan Dana Kemanusiaan Tibun. Juni 2011, DKT mengirimkan sarana kesehatan berupa mobil Ambulans ke Wasior Papua. Kemudian Juli 2011, membangun TK Asyiyah Bustanul Athfal dan merenovasi gedung SD Muhammadiyah Girikerto, Turi , Sleman, Yogyakarta.
Di buritan boat, Raymondus mengendalikan boat bersama Anto, seorang ayah muda. Anto pernah bekerja bersama tim Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Caritas Keuskupan Padang saat membangun 222 unit rumah bantuan Dana Kemanusiaan Kompas di Mentawai.
Boat melaju memecah gelombang sedang, air pusaran baling-baling mesin memutih seperti salju. Air terpercik di buritan rata-rata setinggi 50 - 100 cm, di antara dua mesin Yamaha, seakan menjaga jarak kurang lebih 2 meter mengikuti boat.
Menurut Anto, sekali perjalanan, speedboat menghabiskan 1 drum bensin volume 200 liter. Harga bensin fluktuatif, bergantung pada ada atau langkanya minyak di pasaran, antara Rp 8.000 sampai Rp 15.000 per liter. Pagi itu, boat melaju rata-rata 12 knot per jam.
Pukul 10.55 WIB, saat kami tiba di muara Mangkaulu, perahu kayu bermesin 1, bergerak dari areal ternak atau keramba ikan. Penumpang turun dari speedboat, berpindah ke perahu. Selanjutnya meneruskan perjalanan memasuki sungai kecil dan dangkal.
Sekitar 25 menit perjalanan ke arah hulu, di kali yang airnya bercampur laut dan sungai, warna kecokelatan, buaya turun dari daratan, tepi sungai. "Itu nampak buaya kecil, lebih dari semeter. Itu pasti habis berjemur," kata Anto. Ketika ada anak buaya, kata Anto, induknya pun hampir dipastikan berada di seputar lokasi.
Sekitar 30 menit perjalanan, perahu kandas. Dua penumpang di buritan membantu mendayung. Makin ke hulu makin kandas, lalu mesin dipadamkan, beberapa penumpang turun dari perahu, menjejakkan kaki ke dasar sungai jernih, dan mendorong perahu.
Areal pertanian yang ditumbuhi antara lain pisang, tebu, pinang, sukun, durian, cempedak dan kelapa. Perahu kandas, lalu bantuan didatangkan dari warga dusun, kami tiba 11.36 WIB.
Setibanya di tepian kali, di bibir desa, rombongan disambut pengalungan bunga, dari kembang- kembang di desa itu dirangkai benang. Puluhan murid SD, ketua adat, orangtua, dan warga mendendangkan lagu puji-pujian, menyambut kami.
Upacara peletakan batu bangunan SD pertama berjalan lancar di lokasi, ke arah kaki bukit, lebih tinggi dari areal perkampungan. Subet, yaki makanan khas Mentawai dari bahan pisang rebus kemudian ditumbuk, dibulat-bulati lalu ditaburi kelapa paru. Saat makan, kami disuguhi antara lain lobster besar, tangkapan utama nelayan setempat.
Kami meninggalkan Dusung Mangkaulu sore, sekitar pukul 16.30. Matahari mulai beranjak menuju peraduan. Perjalanan menuju pulang ke Sikakap, Raymondus menakhodai boat tidak dari jalur yang ditempuh pagi. Kalau pagi dia sempat mengomel karena melintasi alur laut dangkal, bermanuver di antara celah-celah hutan baku yang ternyata sempat membuat boat kandas, menghantam karang, pada saat pulang dia menempuh jalur lain.
Perjalanan berlawanan arah dengan angin bertiup dari utara ke selatan. Air permukaan laut bergelombang lebih tinggi daripada pagi sebelumnya. Ombak bergerak susul-menyusul seakan adu cepat mengadang boat.
Raymondus tak gentar. Dia tidak mengendurkan tali gas dua mesin Yamaha yang terus mendengung. Boad terus melaju, bahkan seakan kecepatannya berlipat dibandingkan perjalanan pergi. Bagian haluan boat mengempas, menghentak, memecah ombak. Ukuran boat 11,5 meter ternyata punya arti. Menurut K Manalu, staf PSE Caritas Keuskupan Padang, boat pendek rawan tenggelam saat menghadapi ombak besar.
Mirip kejadian di darat, kita mobil yang melaju tiba-tiba bannya melintasi jalan berlobang. Atau ibarat permainan jungkat-jungkit, bagian depan boad naik tinggi saat diadang ombak besar lalu turun, naik lagi dan mengempas ombak.
Percikan air laut akan meluas, sampai masuk ke dalam boad atau ke atap manakala empasan mengantam ombak yang lebih besar. Suara derik papan atau kayu terdengar tat kala, haluan boad melambung tinggi, kira-kira 3-4 meter, lalu menghunjam ke laut, membelah ombak. "Wow... Seru," kata Pitos sembari bersorak.
"Kalau tadi pagi kita hanya dioleng-olengkan gelombang kecil, ini baru benar-benar ombak laut," ujar Pitos, putra Minang yang tinggal menetap di Pekanbaru, tiga tahun terakhir.
Dia lalu memuji kekuatan dan ketahanan dag speebod yang terbuat dari kayu. "Kalau dari fiber, ini sudah pecah," ujar Pitos. Romo Alex yang duduk pada bangku kayu persis di depan Pitos, melirik ke belakang, sembari tersungging. (domu d ambarita)