TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR- Perpolitikan nasional semakin mengkhawatirkan. Para pemimpin bangsa, dan daerah lahir dari proses politik yang semakin pragmatis dan transaksional yang ditandai dengan fenomena ongkos politik teramat mahal. Akibatnya para aktifis idealis tersingkir dari panggung politik, digantikan orang-orang berduit. Pengusaha makin dominan di partai politik.
Sejumlah senior dari organisasi ekstra universitas yang dikenal dengan sebutan Kelompok Cipayung hadir dan berbicara di forum Konferensi Nasional III Forkoma PMKRI di Denpasar, Bali, yang berakhir Minggu (14/4/2013).
Mereka tampil sebagai pembicara tentang kepemimpinan nasional. Mereka adalah Ketua Harian Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) M Alfan Alfian, Sekjen Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Riad Oscha Chalik, Sekjen Persatuan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)/mantan anggota DPR dari PKB Effendy Choirie, dan Sekjen Perkumpulan Senior Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Andaru Sanyoto.
Dari tuan rumah adalah Ketua Forkoma PMKRI Bali Yohanes Usfunan
dan Ketua Forum Komunikasi Alumni PMKRI Hermawi Fransiskus Taslim.
Forum Alumni Kelompok Cipayung di deklarasikan tanggal 25 Januari 2012, bertepatan memperingati 40 tahun dibentuknya Kelompok Cipayung, di Cipayung, Bogor, Jawa Barat, 25 Januari 1972.
Saat itu forum bersama ini dibentuk lima organisasi kemahasiswaan, yakni Mahasiswa Islam (MI), Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Para pembicara memetakan kekuatan dan kelemah, teladan atau contoh, dan mengkritisi kepemimpinan nasional sejak Indonesia merdeka, sampai saat ini. Menurut Alfan Alfian, saat pendiri bangsa, Soekarno-Hatta mempimpin negeri ini, Indonesia berada dalam kondisi pasang- surut untuk ukuran demokrasi.
Kebebasan demokrasi mengalami puncaknya saat diterapkan demokrasi liberal yang ditandai pemilu bebas tahun 1955. Era Soekarno berakhir, dan digantikan Soeharto. Pengganti baru ini kemudian dikenal dengan Orde Baru, ditandai dengan yang berkuasa adalah elite militer. Kemudian pada era reofrmasi, tampilnya presiden BJ Habibie, disusul Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kondisi terkini, pemimpin bangsa lahir dari situasi politik yang semakin pragmatis dan traksaksional. "Politik kita hari-hari ini, semakin pragmatisme-transaksional. Saya sekadar menguatkan elite politik dari kalangan pebisnis. Kalaupun ada aktifis, barangkali aktifis yang berbisnis," ujar Alfan.
Sekjen Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Riad Oscha Chalik, senada memotret peta politik nasional. "Transaksional ini mewarisi Orde Baru terlalu prosedural administratif. Saat ini, situasi terbolak-balik. Pengusaha yang meng-engineer parpol sedemikian rupa, penguasa masuk ke parpol dan akan menjadi penguasa," katanya.
Jika pada zaman Oder Baru, segala sesuatu dibatasi, karena pemimpin dari militer sangat kuat, sedangkan sekarang sebaliknya. "Seharusnya, pemimpin dengan postur militer yang sangat kuat, tetapi senyatanya lebih lembek dari sipil."
Menurutnya, sektor politik, semakin ditandai transaksional. Biaya politik terlalu mahal. Prosedural pelaksanaan kongres satu parpol misalnya, untuk 459 cabang di 34 provinsi, peserta harus diongkosi dari daerah masing-masing ke lokasi kongres. Untuk pemilihan presiden satu kali putaran saja, seorang calon harus menyiapkan dana minimal 250 miliar.
"Ini persoalan bangsa. Belum lagi soal diskriminasi. Tujuh kata sudah dicabut dari pembukaan UUD 45, tetapi pemimpin masih tetap harus orang Jawa dan Muslim. Ini diskriminasi. Mestinya siapa pun boleh mencalonkan diri, tidak perlu dilarang, masalah terpilih atau nggak, itu urusan lain," kata Riad.
Gurubesar Universitas Udayana yang menbajat Ketua Forkoma PMKRI Bali Drs Yohanes Usfunan mengatakan, dia dua kali mencoba maju sebagai calon bupati di NTT namun selalu gagal. "Mungkin karena saya terlalu idealis, tidak mau money politics," ujarnya.
Ada pun Andaru Sanyoto mengatakan, republik ini lahir hanya dari satu pernyataan Sumpah Pemuda menjadi Sumpah bangsa. Kalau sudah perkataan tidak sama dengan perbuatan, entah masih adakah NKRI ke depan.
"Tuntutan zaman, meminta pemimpin yang mampu mendengar dan memutuskan. "Saya sudah memantau, saya sudah mengunjungi, tapi keberanian memutuskan tidak ada. Pemimpin ke depan, tidak hanya gagah perwira, tetapi harus juga berani memutuskan," kata Andaru. (tribunnews.com/domu d ambarita)