Laporan Reporter Tribun Jogja, Mona Kriesdinar
TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN - Komandan Korem 072/Pamungkas Brigjen TNI, Adi Widjaja menuding Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang sebenarnya menginginkan teleconference dalam sidang kasus penyerangan terhadap Lapas Kelas 2B Sleman.
Menurut Adi, tidak ada saksi yang merasa keberatan untuk memberikan kesaksian langung di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta.
"Yang menginginkan itu (teleconference-red) LPSK atau saksinya? Enggak ada (saksi-red) yang keberatan, yang keberatan itu LPSK karena ada anggaran pengadaan CCTV," katanya ketika ditemui Tribunjogja.com, seusai mengikuti acara penandatanganan nota kesepakatan bersama di Mapolda DIY, Selasa (4/6/2013).
Adapun, wacana teleconference mencuat setelah hasil investigasi yang dilakukan LPSK menunjukkan bahwa para saksi tak bersedia memberikan kesaksian secara langsung dengan alasan masih trauma.
Anggota LPSK, Irjen (Purn) Teguh Soedarsono, ketika dihubungi wartawan Senin (3/6/2013) menjelaskan, pihaknya terus melakukan persiapan peralatan teleconference meskipun usulan tersebut belum disetujuan Mahkamah Agung (MA). "Kami terus melakukan persiapan. Terserah nanti mau digunakan atau tidak," katanya.
Adapun jika nantinya disetujui, rencananya akan ada tiga titik yang dilengkapi peralatan teleconference. Yakni di Lapas Kelas 2B Sleman, di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta serta satu lagi berada di kantor LPSK Jakarta. Pihaknya tak serampangan dalam mengambil keputusan tersebut lantaran secara hukum sebenarnya sudah ada aturan yang menaunginya yakni dari Pasal 36 UU no 13/2006, yang menyebutkan bahwa LPSK bisa bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintahan.
Sementara usulan teleconference sendiri dianggap mendesak lantaran kondisi psikologis para saksi yang masih dinyatakan belum stabil. Ia berharap tidak ada pemaksaan bagi para saksi untuk hadir di persidangan, lantaran bisa memperparah kondisi psikologis para tahanan yang kini masih trauma. Lebih jauh lagi, pemaksaan itu juga beresiko terjadinya pelanggaran HAM.
Secara tegas dirinya mengatakan, bahwa wacana teleconference hanya semata-mata untuk melindungi para saksi. Ia menampik anggapan bahwa hal itu merupakan bagian dari upaya menjatuhkan kredibilitas militer. Sebaliknya, justru bisa membantu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap militer.
"Militer Indonesia saat ini sedang disorot karena kasus Cebongan. Untuk membersihkan, caranya melalui peradilan terbuka," imbuhnya.