TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak empat orang mengaku kenal dengan pelaku bom bunuh diri di halaman Markas Polres Poso, Sulawesi Tengah. Mereka yang diduga sebagai keluarga pria itu telah menjalani tes DNA. Hasil tes itu akan digunakan sebagai sampel pembanding.
"Empat orang sudah diambil darahnya untuk dijadikan sampel dan dikirim ke Mabes Polri. Selanjutnya dipergunakan untuk diperiksa, dibandingkan dengan sampel darah yang ada milik pelaku," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Agus Rianto di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (7/6/2013).
Identifikasi lebih lanjut akan dilakukan tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri. Agus tak dapat memastikan kapan hasil tes DNA tersebut diketahui. Jika cocok dengan DNA pelaku, maka polisi dapat mengetahui jati diri pelaku.
"Itu masih perlu waktu lagi untuk bisa memastikan keidentikannya," kata Agus.
Empat orang tersebut mengaku kenal dengan pelaku setelah polisi menyebar foto wajah pelaku yang masih dapat dikenali dengan jelas. Pria tersebut berusia antara 30 sampai 40 tahun dan tinggi badan 165-170 cm.
Pelaku memiliki kulit sawo matang dan rambut lurus berwarna hitam. Untuk mengungkap identitas pelaku dan jaringan terornya, polisi juga menelusurinya dari motor yang digunakan pelaku untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Diduga, motor tersebut hasil curian.
Diberitakan sebelumnya, aksi bom bunuh diri terjadi di antara pos jaga Mapolres Poso dan masjid, Senin (3/6/2013) pukul 08.03 Wita. Pelaku menerobos masuk Mapolres Poso dan sempat dihentikan petugas. Bom pun meledak sebanyak dua kali saat pelaku mengendarai motornya. Motor dan tubuh pelaku hancur. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.
Pelaku diduga menggunakan "bom tupperware" atau bom yang diletakkan dalam wadah plastik. Pelaku diduga kelompok teroris Poso pimpinan Santoso yang saat ini masih buron.
Polisi juga mendalami keterkaitan eksekutor bom bunuh diri itu dengan Basri alias Bagong alias Ayas, narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Ampana, Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Tengah, April lalu.