TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tidak ditahannya Bupati Batanghari Nonaktif, Abdul Fattah selama menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jambi menuai kritik. Pasalnya, sudah tiga kali persidangan digelar, namun terdakwa tersebut masih bebas berkeliaran tanpa adanya penahanan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jambi, Prof Johni Najwan menilai ada keanehan yang dilakukan oleh Pengadilan Tipikor Jambi terkait tidak ditahannya Bupati Batanghari, Abdul Fattah.
Walaupun persoalan ditahan atau tidaknya seorang terdakwa adalah wewenang pengadilan yang menangani, akan tetapi jika mayoritas terdakwa ditahan, sedangkan terdakwa kasus armada damkar tahun 2004 ini tidak, pasti ada sesuatu patut dicurigai.
"Ini jelas pasti ada apa-apanya. Mayoritas terdakwa semuanya ditahan, kok dia (Abdul Fattah) tidak. Masyarakat juga harus tahu, dan penegak hukum dalam hal ini pengadilan harus transparan," ujarnya saat dihubungi wartawan, Senin (16/9/2013).
Langkah penahanan menurutnya perlu dilakukan agar pelaku kejahatan tersebut tidak melakukan tindakan lain misalkan menghilangkan barang bukti, ataupun mengintimidasi saksi.
"Demi penegakan keadilan, dan perlakuan sama terhadap hukum, seorang terdakwa seharusnya ditahan," tegasnya.
Sementara itu, Koordianator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menilai sangat keterlaluan jika pengadilan tidak melakukan penahanan terhadap Bupati Batanghari, Abdul Fattah yang jelas telah dinonaktifkan.
"Keterlaluan banget pengadilan jika tidak ditahan. Yang namanya kasus korupsi semestinya tidak ada alasan untuk tidak dilakukan penahanan, karena bisa jadi terdakwa melarikan diri" ujarnya.
Seperti diberitakan, Abdul Fattah yang menjabat sebagai Ketua Partai Demokrat Batanghari diduga terlibat kasus korupsi pengadaan armada damkar Batanghari pada tahun 2004.
Akibat perbuatannya, negara menderita kerugian senilai Rp651 juta. Sidang kasusnya telah digelar di Pengadilan Negeri Jambi dan masih pada tahap mendengar keterangan saksi-saksi.
Abdul Fattah didakwa melanggar dua pasal, yakni dakwaan primair, Pasal 2 juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31/1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, dan dakwaan subsidair Pasal 3 dalam undang-undang yang sama.