Laporan Wartawan Pos Kupang, Egy Moa
TRIBUNNEWS.COM, RUTENG - Kediaman Hendrikus Jela (80), kakak kandung Fransiskus Galis (59) di Gang Weri Waso, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur, Rabu (2/10/2013), pukul 14.00 Wita didatangi Camat Wae Rii,
Servas Jahang, bersama sembilan orang staf.
Servas membawa misi mengajak Frans berdamai dengan para pelaku pemberi sanksi pikul lesung keliling Kampung Ling dan minum air seni dicampur kotoran manusia kepada Frans. Namun Frans yang dituduh dukun santet menolak tawaran damai dan memasang syarat pelaku yang hendak damai juga harus meminum air seni dicampur kotoran.
"Katanya mereka (pelaku) datang menangis di bupati mengaku sudah bersalah. Pak camat tanyakan kepada saya, apakah saya mau damai," kata Frans kepada Pos Kupang (Tribunnews.com Network) di Mano, berjarak sekitar 16 kilometer timur Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Kamis (3/10/2013).
Frans didampingi istrinya, Sabina Naut (58), anak kandung, Isayas Efredi, dan keponakan, memasang syarat yang sama dengan sanksi adat yang pernah dijalani bersama Ny Sabina.
Para pelaku juga harus memikul lesung dan meminum kembali air seni dicampur kotoran manusia, merasakan sanksi serupa yang dirasakan Frans.
"Kalau mereka setuju damai, mereka juga minum air seni campur kotoran manusia seperti yang diberikan kepada saya dan istri saya. Uang dan barang kami juga punya. Sakit sekali perasaan kami, mereka yang senang," kata Frans berurai air mata diikuti istri, anak dan semua keponakan di rumah kakak kandungnya itu.
"Martabat kami dihina di hadapan warga satu kampung. Kuda sekalipun tak akan minum air kencingnya sendiri atau makan lagi kotorannya. Apalagi manusia dipaksa minum air kencing orang lain dan dicampur kotoran manusia," sambung salah satu keponakan yang minta tak dipublikasikan identitasnya.
Mengingat kembali minum air seni, Frans muntah empat kali di hadapan tamunya.
"Hukuman (minum air seni campur tahi) saya yang rasakan. Bukan kamu yang rasakan," sambung Ny. Sabina, dalam bahasa daerah Manggarai.
Frans menegaskan, ia dan keluarganya sudah tinggalkan Kampung Ling. Rumah setengah tembok (dinding papan) yang telah diselesaikan September 2012, ditinggalkannya. Begitu pula sebidang petak sawah dan sebidang kebun kopi yang
bisa dipanen 300 kilogram tiap musim panen.
"Saya ucapkan di hadapan pak camat. Saya buang Kampung Ling. Saya tidak akan kembali lagi," tegas Frans berurai air mata lagi.
Servas Jahang menawarkan upaya damai dilakukan rumah Gendang Ling dan diliputi media massa untuk membersihkan namanya.
"Saya tidak mau. Yang rasakan sakit saya. Biar saja proses hukum. Biarkan damai saja mereka. Kami mendokan mereka menyadari kekeliruannya," katanya.