TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Pengamat penerbangan Chappy Hakim menilai Bandar Udara (Bandara) Husein Sastranegara awalnya dibangun bukan untuk penerbangan komersial (commercial flight).
Karena itu, melihat perkembangan jumlah penumpang dan jumlah maskapai yang masuk ke Bandung, sudah selayaknya dibangun bandara baru pengganti Husein Sastranegara.
"Kalau cuma lampu penuntun penerbangannya padam karena air hujan, itu masih untung karena sebenarnya Bandara Husein sudah tidak layak disebut sebagai bandara untuk penerbangan komersial. Letaknya di lahan pegunungan, banyaknya permukiman, apronnya yang terbatas, juga runway-nya yang cuma 1 dan pendek," ujar Chappy kepada Tribun saat diminta komentarnya mengenai padamnya lampu penuntun penerbangan Bandara Husein, Kamis (12/12/2013).
Lampu penuntun penerbangan di Bandara Husein padam, Selasa (11/12/2013) sejak pukul 18.00. Padamnya lampu diduga karena gangguan teknis pada instalasi kabel lampu yang terendam air pascahujan terus-menerus sejak sore. Akibatnya, sejumlah penerbangan mengalami penundaan hingga Rabu (12/12/2013), serta pesawat tidak bisa mendarat di bandara hingga Selasa malam.
Chappy, yang juga mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), mengatakan, Bandung sebenarnya tidak memiliki bandara komersial. Penerbangan di Husein hanya nebeng. Pasalnya, Bandara Husein awalnya didesain untuk pangkalan TNI AU yang dilengkapi dengan gudang perlengkapan perang, bengkel pesawat dengan hanggar terbesar se-Asia Tenggara, sekolah penerbangan, dan PT DI sebagai pabrik perakitan pesawat.
"Tidak ada alternatif lain lagi yang bisa dilakukan untuk Bandara Husein. Kembalikan saja ke TNI AU. Seharusnya pemerintah kita sudah memikirkan untuk membangun bandara yang lebih representatif 5-10 tahun lalu karena Husein sudah tidak memenuhi syarat untuk bandara komersial. Kalau pemerintah sudah mulai membangun di Majalengka, saya kira itu bagus," kata Chappy.
Chappy juga mengatakan, dalam pembangunan bandara yang memenuhi syarat, sebaiknya pemerintah melibatkan konsultan yang ahli di bidang pembangunan bandara beserta kelengkapannya. Tidak bisa hanya memiliki keinginan membangun bandara, tanpa mempertimbangkan kemungkinan perkembangannya di waktu mendatang.
"Membangun bandara itu tidak bisa asal ngarang-ngarang. Harus melibatkan konsultan di bidangnya masing-masing. Ada konsultan di bidang terminalnya khusus, di bidang apron, bidang runway, taxiway, termasuk segala fasilitas pendukung lainnya," kata Chappy.
Sejak tahun 2000-an, menurut Chappy, transportasi udara mengalami pertumbuhan yang pesat, rata-rata 8-10 persen per tahun. Tapi pertumbuhan ini tidak disertai dengan pertumbuhan sumber daya manusia dan pengembangan infrastrukturnya. Infrastruktur yang dimaksud adalah fasilitas runway, taxiway, apron, terminal, dan termasuk jalan menuju atau keluar dari bandara.
Ia menyebutkan, Bandara Ngurah Rai di Denpasar, Bali, juga dinilai tidak terencana dengan baik. Pasalnya, terminal penumpang diperbaiki dan ditambah kapasitasnya, tapi runway-nya hanya satu sehingga terjadi overload penerbangan. Itu terjadi di semua bandara di Indonesia.