Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, MATARAM - Maraknya kasus penggusuran sepihak lahan-lahan milik masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB), dinilai sebagai "ladang korupsi" bagi aparat penegak hukum.
Penilaian itu, diutarakan oleh sejumlah akademisi dan lembaga swadaya masyarakat di NTB yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi NTB.
Syamsul Hidayat, dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram yang turut bergabung dalam koalisi itu, menuturkan penilaian tersebut bukan tanpa alasan kuat.
"Penangkapan Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat, Subri, dan pengusaha Lusita Anie Razak, menjadi bukti kuat aparat penegak hukum memanfaatkan banyaknya kasus konflik agraria antara rakyat dan pengusaha menjadi komoditas suap," kata Hidayat, seperti dalam rilisnya yang diterima Redaksi Tribunnews.com, Selasa (17/12/2013).
Sejak era 1990-an, kata dia, penggusuran tanah marak di berbagai daerah NTB. Misalnya, penggusuran untuk kawasan pariwisata Kuta, Rowok, Selong Belanak, Tanak Awu, dan Trawangan.
Korban penggusuran, sambung Hidayat, sering kali menjadi korban kriminalisasi dan mafia tanah. Lebih parah lagi, kasus-kasus agraria di NTB telah menjadi komoditi praktik suap dari pemilik modal terhadap aparat hukum.
Singkatnya, sambung Hidayat, kriminalisasi petani atau pemilik tanah telah menjadi bagian dari perampasan hak atas tanah rakyat.
"Karenanya, kami menuntut KPK dan aparat penegak hukum lainnya untuk mengembangkan dan membongkar mafia tanah dan mafia peradilan di NTB. Dengan begitu, agenda pemberantasan korupsi bisa sekaligus menyetop kriminalisasi petani," tandasnya.