News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Begini Cara Warga Tengger Bertahan di Tengah Bahaya Erupsi Gunung Bromo

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gunung Bromo mengeluarkan asap sulfatara, terlihat dari Cemorolawang, Desa Ngadisari, Sukapura, Probolinggo. Gunung Bromo dinyatakan berstatus awas oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sejak Selasa (23/11/2010) pukul 15.30 WIB.

TRIBUNNEWS.COM, PROBOLINGGO - Tingginya dinding kaldera Gunung Bromo menjadi benteng pengaman pemukiman warga. Dinding kaldera ini yang selama ini menghentikan laju lontaran batu pijar dan merontokkannya di kaldera. Permukiman warga yang berada di balik dinding kaldera menjadi aman.

“Repotnya, kadang-kadang  ada warga atau wisatawan yang justru nekat menerobos,  mendekati kaldera untuk melihat langsung terjadinya letusan,” kata Moh Syafii,  Ketua Pos Pengamatan Gunung Api Bromo di Dusun Cemoro Lawang.

Dinding tingginya bervariasi, mulai 50 meter hingga 500 meter. Dinding  ini melingkari gunung api lain yang kini tak lagi aktif, seperti Gunung Segorowati, Gunung Kursi, Gunung Widodaren, dan Gunung Batok. Karena itu, saat terjadi erupsi warga dilarang memasuki kawasan kaldera.

Bromo terakhir kali mengalami erupsi atau selama sembilan bulan, yakni mulai November 2010 hingga Juli 2011. Erupsi berkarakter Stromboli yang mengeluarkan bahan pijar dari dalam kawah ini bisa dibilang merupakan erupsi terlama yang pernah terjadi pada Bromo.  Biasanya erupsi terjadi selama satu sampai tiga bulan saja.

Erupsi panjang itu memang tidak memakan korban jiwa. Namun mengakibatkan tanaman pertanian tidak bisa tumbuh. Semua ladang  rusak karena terpapar material debu vulkanis.

Sutomo,  dukun kepala Tengger  menceritakan, saat erupsi sembilan bulan berlangsung warga berhenti total  menggarap sawah ataupun ladang. Tapi mereka tetap menolak mengungsi itu hanya bekerja membersihkan atap rumah dari debu yang menumpuk.

Mereka tak ingin, debu yang semakin tebal akan menyebabkan atap rumah ambrol karena tak sanggup menahan beban yang kian hari kian berat. Meski sementara tak beraktivitas di sawah, namun mereka tak cemas. Sebab untuk menghidupi keluarganya, warga telah memiliki “tabungan” yang bisa dipakai di masa-masa paceklik dan bencana.

Jauh hari mereka telah membangun  sigiran, semacam lumbung  tempat penyimpanan jagung. Umumnya diletakkan di halaman rumah. Jagung-jagung kering yang disimpan lengkap dengan kelobotnya bisa diolah menjadi pengganti nasi.

“Warga juga menjual ternak untuk bertahan hidup. Bagi kami, ternak adalah tabungan yang sewaktu-waktu bisa dijual saat dibutuhkan. Toh seandainya tidak dijual, ternak itu juga tidak bisa dipelihara karena pakannya rusak tertutup debu dari Bromo,” ujarnya.

Pernyataan ini diperkuat Ndoko, warga Suku Tengger di Desa Ngadisari yang sehari-hari bekerja menjual minuman di kawasan wisata Gunung Bromo.  “Walau Bromo meletus, kami tidak akan mengungsi karena kami percaya bahwa Gunung Bromo akan selalu melindungi nyawa kami,” ucap Ndoko.

Ketika mengalami erupsi di 2010 lalu, status Bromo dinaikkan dari siaga (level 3) menjadi awas (level 4). Pada saat seperti itu, mestinya warga yang tinggal di sekitar Kawasan Rawan Bencana (KRB) I  yang meliputi desa Ngadisari, Jetak, Ngadas, Wonotoro, dan Wonokerto, dihimbau untuk mengungsi.

Daerah yang masuk ke dalam KRB I ini sendiri rawan terkena hujan abu lebat dan lontaran batu pijar. Hal ini khususnya terjadi ketika erupsi Bromo menjadi kian besar dan mencapai puncaknya.

Ketika itu  Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Probolinggo telah menyiapkan titik pengungsian di Lapangan Desa Sukapura, Kecamatan Sukapura, yang dianggap lebih aman.

Selain KRB I, oleh PVMBG juga telah ditentukan KRB II. Kawasan ini meliputi area di dasar kaldera lautan pasir. Karenanya, saat aktivitas Bromo meningkat, penduduk dan wisatawan dilarang keras turun ke dasar kaldera, apalagi sampai mendekati Bromo.

Namun bagi yang terlanjur berada di sana saat Bromo ‘batuk’, juga telah ditentukan tiga jalur penyelamatan yang meliputi jalur Cemoro Lawang – Ngadisari – Sukapura ; jalur Penanjakan – Wonokitri – Tosari ; dan jalur Rujak – Jemplang – Ngadas maupun Ranu Pani. Bagi wisatawan maupun penduduk yang ada di sekitar kaldera ketika Bromo erupsi, bisa memilih rute terdekat dari lokasinya berada.  Ben/Idl/Surya

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini