News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Warga Sebatik: 'Garuda di Dadaku, Ringgit di Kantongku'

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Perbatasan Indonesia dan Malaysia, di Pulau sebatik, Kalimantan.

TRIBUNNEWS.COM, PULAU SEBATIK - Lirik lagu grup musik rock Netral sebenarnya adalah "Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku".

Namun, sejumlah pemuda di kawasan perbatasan di Kalimantan mengubah menjadi "Garuda di dadaku, ringgit di kantongku" karena mereka lebih akrab ringgit ketimbang rupiah.

Di Kecamatan Krayan, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, sebuah daerah yang berbatasan darat langsung Malaysia, masyarakatnya lebih banyak menggunakan ringgit ketimbang rupiah.

Mata uang rupiah tetap ada, tetapi jika dibandingkan, maka jauh lebih banyak ringgit yang beredar. Akibatnya, untuk transaksi sehari-hari, baik untuk membeli sembako, rokok, maupun kebutuhan hidup lainnya, masih lebih banyak yang menggunakan ringgit.

Pemandangan ini bukan hanya dijumpai di warung-warung kecil penjual sembako maupun komoditas lain di pasar tradisional. Bahkan, transaksi menggunakan ringgit di minimarket merupakan pemandangan yang lumrah.

Di Tarakan saja yang merupakan kota agak jauh dari Malaysia, kadang-kadang dijumpai WNI yang jual-beli dengan mata uang ringgit. Di mal atau supermarket tertentu, harga yang tertera bukan rupiah, melainkan dalam bentuk ringgit, seperti harga di sepatu tertera 100 ringgit, dan lainnya.

Untuk di Krayan yang warganya masih akrab dengan ringgit, hal ini terjadi lantaran kebanyakan bahan pokok yang dikonsumsi warga sehari-hari didatangkan dari Tawau, Malaysia bagian timur. Sebaliknya, warga juga menjual hasil sumber daya alam mereka ke negeri jiran tersebut.

Termasuk penjualan ternak baik sapi maupun kerbau juga dijual ke Tawau, Sabah, maupun ke Serawak. Dari hasil transaksi itulah mereka membawa pulang ringgit dari Tawau. Ringgit yang mereka peroleh itu kemudian beredar di Krayan maupun Sebatik. Kondisi ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu.

Fenomena ini seperti terlihat lumrah, tetapi jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya sangat miris dan cukup memprihatinkan karena secara perlahan bisa melunturkan nilia-nilai kebangsaan dan mengancam keutuhan NKRI.

Menanggapi hal itu, anggota DPRD Kaltim Abdul Djalil Fattah mengatakan bahwa sudah puluhan tahun kondisi di kawasan perbatasan tidak dalam kondisi membanggakan karena minimnya berbagai sarana dan prasarana.

Banyak anggota masyarakat yang mengeluh mengenai permasalahan yang terjadi dari tahun ke tahun yang belum juga ada perbaikan. Minimnya sarana dan prasarana, termasuk infrastruktur tersebut, kemudian berdampak pada harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.

Dia menilai bahwa warga di perbatasan belum sepenuhnya "merdeka" karena perhatian dari Pemerintah RI belum menyentuh sendi kehidupan mereka sehingga perekonomian warga setempat bergantung pada negeri tetangga.

"Pemuda di sana yang menggubah lagu menjadi 'Garuda di dadaku, ringgit di kantongku', sebenarnya sangat miris ketika kita mendengarnya. Semoga pemerintah yang mendengar juga mengambil langkah tepat untuk menangani permasalahan ini," tutur Djalil seperti dikutip dari Antara.

Menurut dia, di Krayan dan di Sebatik, mata uang ringgit yang masih lebih populer dan lebih sering digunakan ketimbang rupiah. Hal ini menandakan bahwa tingkat ketergantungan kawasan perbatasan terhadap pasokan sembako dan bahan kebutuhan lain dari Malaysia masih tinggi.

"Pemerintah pusat harus bertanggung jawab membuat rencana kerja terhadap pembangunan di kawasan perbatasan dengan tepat, karena persoalan perbatasan negara bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah provinsi maupun kabupaten, tetapi harus pemerintah pusat karena menyangkut perbatasan negara," tuturnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini