Laporan Wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang
TRIBUNNEWS.COM, TAMBOLAKA - Puluhan anggota Formabes Peduli Kebenaran dan Keadilan bersenjatakan parang dan anak panah melakukan aksi di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumba Barat Daya (SBD) saat kedatangan tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Selasa (25/3/2014).
Tim Komnas HAM terdiri dari Endang Sri Melani (penyidik), Dyah Nan (analisis pengaduan) dan Eka ST (penyuluh) mendatangi KPU SBD diterima Sekretaris KPU SBD, Ignasius Dodok. Warga yang datang dengan parang dan anak panah itu ronggeng sambil menghunus parang. Mereka berteriak KONco Ole Ate harus tetap dilantik.
Koordinator Formabes menenangkan warga, mengarahkan mereka keluar dari halaman Kantor KPU SBD untuk mempersilakan mobil yang ditumpangi tim Komnas HAM lewat.
Dari kantor KPU SBD, Formabes melakukan aksi di gedung DPRD SBD. Warga yang menumpang dua truk, tidak sempat bertemu pimpinan dan anggota Dewan. Mereka diterima staf sekretariat. Meski demikian, mereka tetap menyampaikan aspirasi.
Koordinator Formabes, Agus Goluwola, mendesak Dewan melakukan koordinasi dengan pemerintah untuk menyikapi aspirasi Formabes.
"Kami sangat kecewa dengan ulah KPU NTT yang memberhentikan KPU SBD yang sedang mempersiapkan pileg. Kami jadi bingung. Kami minta lembaga DPRD menyikapi ini. Kami sudah berulang kali menyampaikan aspirasi tapi tidak didengar. Mohon maaf kalau rakyat duduki gedung rakyat," tegas Goluwola.
Ia meminta DPRD menghadirkan KPU NTT untuk menjelaskan sikapnya dan melihat situasi yang terjadi di SBD.
"Kami akan bawa massa lebih banyak lagi untuk duduki gedung DPRD. Kami akan duduki, sampai kapan pun," teriak orator lainnya.
Langgar HAM
Di Kantor KPU SBD, Formabes Peduli Kebenaran dan Keadilan melaporkan kepada Tim Komnas HAM atas pelanggaran HAM yang dilakukan pasangan Markus Dairo Talu-Dara Tanggu Kaha (MDT-DT) kepada 13.000 warga pemilih Pemilukada SBD.
Saat pertemuan berlangsung, puluhan warga dari Formabes Peduli Kebenaran tiba. Setelah pertemuan dengan sekretaris dan staf KPU SBD, tim Komnas HAM menerima perwakilan Formabes.
Endang Melani menjelaskan, kedatangan mereka untuk memantau persiapan pelaksanaan pemilu legislatif.
"Kami mendapat informasi ada pembekuan anggota KPU SBD. Jadi kami lebih mencari tahu tentang persiapan pileg, DPT apakah warga sudah terdaftar menjadi DPT, penghuni LP dan rutan, pengungsi, penyandang cacat atau disibilitas, semua kategori kelompok rentan dilindungi. Jadi, berperan aktif. Kami tidak bersentuhan dengan pemilukada," kata Melani.
Agus Goluwola mengharapkan kedatangan tim Komnas HAM tidak mempunyai misi terselubung. Mengingat sebelumnya ada anggota KPU NTT datang dengan alasan mengecek logistik Pileg namun punya tujuan lain yaitu mendesak KPU SBD untuk menandatangani kronologi Pemilukada yang sudah disiapkan. Karena KPU SBD tidak mau tanda tangan kronologi sehingga dijadikan alasan untuk diberhentikan oleh KPU NTT.
Agus mengatakan, orang di Jakarta, termasuk Komnas HAM, harus melihat kisruh Pemilukada SBD secara obyektif dan dengan hati nurani.
"Kami bangga Komnas HAM turun agar bisa melihat kisruh pemilukada secara bersama. Kami minta lihat dengan hati nurani bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat," katanya.
Agus secara ringkas menjelaskan kronologi kisruh pemilukada SBD, mulai dari pemungutan suara tanggal 5 Agustus 2013. Menurutnya, pada sore hari semua masyarakat sudah tahu bahwa yang menang adalah pasangan dr. Kornelius Kodi Mete-Drs. Daud Lende Umbu Moto (KONco Ole Ate), berdasarkan hasil rekapan di tingkat TPS dan data formulir C1.
Namun data perolehan suara berubah saat rekapitulasi tingkat kecamatan, khususnya Kecamatan Wewewa Tengah dan Wewewa Barat.
Melani menegaskan, kedatangan mereka tidak ada sangkut pautnya dengan sengketa pemilukada.
"Kami mau memastikan pemenuhan hak politik warga. Kami mau memastikan semua dalam kondisi aman. Kami mau memastikan pembekuan KPUD tidak berpengaruh pada pelaksanaan Pileg. Kami juga bukan pengambil kebijakan. Jadi, perlu dibedakan sengketa pemilukada dan pemilu legislatif," ujar Melani.
Meski demikian, Melani mengatakan, aspirasi yang disampaikan perwakilan Formabes mereka tampung. Dia juga menyarankan kepada perwakilan Formabes untuk membuat laporan tertulis.
"Kami tidak bisa membuat kesimpulan apakah terjadi pelanggaran HAM atau bukan. Karena kami baru mendengar informasi satu pihak. Kami harus melakukan pengambilan bukti dan fakta lapangan dari pihak-pihak lain. Lagi pula, mekanismenya, harus ada laporan tertulis. Pesan lisan sekilas sudah kami dengar, tapi sebaiknya dibuat tertulis. Apa yang kami dengar kami tampung. Kami akan bicarakan dengan pimpinan di pusat," ujar Melani.