TRIBUNNEWS.COM, BLITAR - Para keluarga tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Jatim mengaku sudah kehabisan daya. Mereka pun berharap pada kesaktian pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan keluarga mereka yang divonis hukuman mati.
Para keluarga ingin nasib mereka bisa semujur Satinah dan Wilfrida Soik, dua TKI yang baru pekan lalu diselamatkan dari hukuman pancung di Arab Saudi dan hukuman gantung di Malaysia.
"Kami sangat berharap pada pemerintah, Pak Presiden, dan siapa saja. Tolonglah Pendik (Effendi - TKI asal Blitar)," tutur Sadiq, orang tua Effendi.
Effendi adalah TKI asal Desa Sidorejo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Pemuda 27 tahun itu menunggu eksekusi setelah pengadilan Malaysia menjatuhkan vonis mati pada 2010. Effendi ditangkap bersama warga Thailand 16 Januari 2007 dalam kasus kepemilikan ganja.
Di tengah bercerita, Sadiq terlihat beberapa kali mengangkat kepala. Rupanya gerakan itu dilakukan untuk menahan agar air mata tak jatuh menetes.
Kematian istri membuatnya semakin nelangsa. Ia semakin tidak yakin bisa bertemu Effendi, kecuali sang anak itu pulang kampung. Sadiq mengaku sudah tidak punya apa-apa yang bisa dijual untuk ongkos menjenguk anaknya.
Pada Januari 2013, Sadiq memiliki kesempatan untuk bertemu Effendi. Dia dan Nur Santoso, anak bungsunya, diberangkatkan ke Malaysia oleh Migrant Care. Namun karena sakit, perjalanan Sadiq terhenti hanya sampai di Jakarta. Hanya Nur Santoso yang bisa melanjutkan perjalanan ke Malaysia.
"Bapak sakit sampai di rumah sakit di Jakarta. Teman-teman dari Migrant Care yang ngurusi bapak di rumah sakit. Saya berangkat sendiri dan alhamdulillah bertemu Mas Pendik," kata Nur Santoso.
Pertemuan itu sedikit mengobati perasaan Nur Santoso. Sudah hampir enam tahun dia tidak bertemu dengan kakaknya. Apalagi pertemuan itu merupakan pertemuan pertama sejak Effendi berada di dalam penjara.
Nur Santoso mengatakan, saat itu kakaknya enggan bercerita banyak perihal kasus yang membelitnya. Dia hanya mengatakan ingin sekali kembali berkumpul dengan keluarga. Dia khawatir kesehatan orang tuanya.
Effendi berangkat ke Malaysia menggenggam semangat membantu ekonomi orang tuanya yang pas-pasan. Dia mengaku tak ingin adik-adiknya putus sekolah seperti dirinya.
Pada 2002, Effendi terpaksa bekerja jualan buah, ketimbang menganggur karena karena tak bisa melanjutkan ke SMA. Padahal, saat SMP, ia dikenal cerdas.
Dia tidak ingin adik-adiknya bernasib seperti dirinya. Berbagai pekerjaan pun dilakoni Effendi. Menjual sayur, kelapa, sampai buah nanas.
Dia merantau ke Banyuwangi untuk memasarkan nanas milik kerabat. Tetapi Effendi merasa usahanya tak cukup membantu keluarga.
Ia kemudian mengundi nasib di Kalimantan. Ketika berangkat ke Borneo, usia Effendi masih 22 tahun.
"Tak lama di sana, tiba-tiba kakak telepon. Dia (Effendi) bilang bekerja di Malaysia, tepatnya di Keddah," kata Nur Santoso.
Keluarga tidak setuju Effendi bekerja di Malaysia, namun ia telanjur menyeberang. Tidak mungkin diminta balik dalam hitungan hari. Butuh waktu panjang untuk mengumpulkan ongkos, apalagi kalau mengumpulkan modal buat usaha di kampung halaman.
"Sekarang keluarga berharap proses banding berhasil. Kami masih yakini itu. Kakak saya tidak bersalah," imbuhnya. (idl)