News Analysis :
Joeni Arianto Kurniawan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Dua puluh sembilan Mei 2006 pukul 05.00 WIB adalah awal lahirnya tragedi semburan lumpur panas di areal pengeboran migas Lapindo Brantas Inc (LBI) di Renokenongo, Porong, Sidoarjo.
Ratusan ribu meter kubik mud volcano menyembur dari dalam perut bumi. Hingga kini, semburan tak jua berhenti.
Tragedi ini menenggelamkan ribuan tempat tinggal, ratusan hektar sawah, puluhan pabrik, dan memaksa sedikitnya 7.227 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, kedamaian, dan kesejahteraan hidup. Lebih dari 20 ribu jiwa mengungsi.
Tak kalah penting adalah hilangnya hak-hak dasar warga negara yang dialami korban, mulai hak hidup, hak atas harta benda, hak atas lingkungan tempat tinggal yang sehat dan layak, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan semacamnya.
Saya menyaksikan sendiri nestapa itu setelah terlibat sebagai relawan dalam tim “Lembaga Bantuan Hukum untuk Korban Lapindo (LBH-KL).
Proses penggantian kerugian materiil berupa rumah dan tanah bagi warga korban masih banyak yang belum tertuntaskan, khususnya korban yang berada di dalam wilayah Peta Area Terdampak (PAT) pada 22 Maret 2007.
Hal ini disebabkan tidak adanya komitmen pihak Lapindo Brantas untuk mematuhi Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2007 (yang kemudian diperbarui hingga empat kali).
Perpres ini, khususnya Pasal 15 ayat 1 memerintahkan pihak Lapindo Brantas untuk bertanggung jawab atas kerugian materiil korban yang berada di dalam PAT.
Tiadanya komitmen oleh pihak Lapindo ini didasarkan pada beberapa alasan, di antaranya yang paling sering terdengar adalah alasan bahwa semburan lumpur panas itu akibat gempa Yogya dan bukan kesalahan Lapindo Brantas.
Kedua, apa yang diatur dalam perpres adalah jual-beli tanah dan bangunan antara korban dengan PT Minarak Lapindo Jaya (anak perusahaan LBI) yang sifatnya tidak bisa dipaksakan.
Imbas berlarutnya pelunasan ini adalah munculnya berbagai masalah baru.
Terutama kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan. Namun, pihak yang berperkara dan pemerintah terkesan menutup mata.
Banyak data otentik yang menunjukkan semburan lumpur adalah akibat kesalahan Lapindo.
Di antaranya, laporan hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dirilis sejak tahun 2007.
Di samping itu, eksplorasi migas di desa Renokenongo ini sejak awal telah menyimpang dari Ketentuan Badan Standarisasi Nasional Indonesia No. 13-6919-2002 tentang operasi pengeboran soal jarak minimal dari wilayah permukiman dan fasilitas umum, yakni minimal 100 meter.
Sedangkan sumur Banjar Panji 1 (BJP-1) hanya berjarak 5 meter dari pemukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya-Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina yang pada akhirnya meledak dan menimbulkan korban jiwa ini.