Oleh Firman Wijaksana, Tribun Jabar
SITU Cangkuang, yang terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, menyimpan pesona keindahan. Selain terdapat situ, juga terdapat sejumlah situs dan kampung adat yang menarik untuk dikunjungi.
Dalam West Java Heritage Expedition BPKSNT 2014, yang berlangsung 2-4 Juni lalu, Situ Cangkuang, yang luasnya 25 hektare, menjadi tempat persinggahan pertama tim ekspedisi.
Para peserta tim ekspedisi bahkan sempat melihat simulasi ekskavasi atau penggalian dan konservasi di sekitar Candi Cangkuang.
Sejumlah permasalahan pun ditemukan tim ekspedisi saat mengunjungi Situ Cangkuang. Salah satunya masalah pelestarian situs.
Setiap bulan Situ Cangkuang dikunjungi 10 ribu orang. Jumlah tersebut bisa menyebabkan terganggunya pelestarian situs seperti Candi Cangkuang.
Candi Cangkuang merupakan candi dengan latar belakang agama Hindu yang diperkirakan berasal dari abad ke-7 sampai 8 Masehi.
Candi tersebut ditemukan oleh tim sejarah Leles sekitar tahun 1966 di sebuah pulau yang dikelilingi danau. Penemuan candi berpedoman dari notulen Van Het Bataviaasch Genootschap oleh Voderman tahun 1893.
Dalam notulen tersebut dijelaskan terdapat arca Siwa dan makam. Proses penggalian pun dilakukan tahun 1967 dan 1968.
Tim penggalian kemudian menemukan fondasi candi. Namun dari hasil penggalian, tim hanya menemukan 40 persen bangunan candi. Tahun 1976 Candi Cangkuang diresmikan.
Koordinator Juru Pelihara, Zaki Munawar, mengatakan, dari 40 persen bangunan candi yang ditemukan kemudian dilakukan pemugaran hingga bentuk candi berdiri.
Di dalam candi setinggi 8,5 meter itu terdapat arca Siwa setinggi 40 sentimeter dengan kedua lengan yang patah. Hingga kini belum ditemukan potongan lengan arca.
"Harapan kami agar pemerintah bisa segera menata kawasan situ. Sebagian kawasan situ sudah mengkhawatirkan seperti terjadi longsoran dan sedimentasi di situ. Perlu penanganan segera untuk menatanya," kata Zaki di Situ Cangkuang, Senin (2/6).
Selain candi, di Situ Cangkuang juga terdapat makam penyebar agama Islam. Makam Mbah Dalem Arif Muhammad itu terletak di sebelah candi.
Menurut Zaki, keberadaan candi dan makam menjadi pertanda kerukunan antarumat beragama sejak dulu.
Terdapat juga permukiman yang diberi nama Kampung Pulo karena letaknya yang berada di tengah pulau. Kampung Pulo hanya terdiri atas tujuh bangunan yang dihuni enam keluarga.
"Satu bangunan masjid dan enam rumah. Jumlah bangunannya juga tidak boleh bertambah. Para penghuni Kampung Pulo merupakan keturunan Arif Muhammad," kata Zaki, yang juga keturunan dari Kampung Pulo.
Di dekat candi terdapat site museum yang menyimpan berbagai naskah peninggalan Arif Muhammad. Pengelola Situ Cangkuang juga mengajarkan cara membuat kertas dari kulit pohon saeh.
Kertas yang diberi nama daluang tersebut merupakan peninggalan para leluhur.
Lutfi Yondri, peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, mengatakan, ekskavasi itu dilakukan untuk melihat gangguan di sekitar candi.
Pelestarian yang dilakukan harus melihat kondisi sekitar situs. Pasalnya, konservasi yang dilakukan harus sejalan dengan keberadaan situs. Jangan sampai mengganggu keberadaan situs.
"Dari ekskavasi yang dilakukan kami tidak melihat struktur budaya di sekitar candi. Untuk pelestarian harus segera dilakukan pembagian zona. Zona publik harus diatur sehingga bangunan utama bisa dilestarikan. Seperti memberikan jarak dengan pagar pembatas agar orang yang datang tidak merusak situs," kata Lutfi.
Agus Aris Munandar, guru besar Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, mengatakan, sejak zaman dahulu lokasi candi yang dikelilingi gunung dan air sudah disucikan para leluhur. Bahkan diperkirakan umur candi bisa lebih tua.
"Bisa jadi umurnya sezaman dengan Tarumanagara. Namun memang dulu para arkeolog menafsirkan candi ini dibangun pada abad ke-8," ujar Agus.