TRIBUNNEWS.COM,UNGARAN - Setelah dikuasai Polri, keberadaan Benteng Willem II Ungaran kembali menimbulkan polemik.
Selain keluhan bahwa warga menjadi sulit mengakses bangunan tersebut, pemugaran yang telah dilakukan oleh Polri guna mempercantik warisan kolonial Belanda itu justru dirasa melanggar Undang-undang Cagar Budaya.
"Dari sudut pandang keindahan, memang lebih cantik. Tapi dengan mengubah bentuk fisik, jelas ada pelanggaran di sini," ungkap Ketua Paguyuban Peduli Cagar Budaya Ratu Sima Jateng, Sutikno, Selasa (10/6/2014) pagi.
Sutikno sangat menyayangkan proses pemugaran Benteng Willem II yang cenderung hanya mengejar sisi estetika, tanpa memperhatikan kaidah pemeliharaan benda cagar budaya.
“Misalnya kanopi, dulu tidak ada ukir-ukiran seperti itu. Fungsi boleh berubah tetapi fisiknya harus dipertahankan. Dulu ada papan pengumuman di depan benteng yang menyebut bangunan ini sebagai benda cagar budaya, tetapi pengumuman itu sudah dihilangkan,” ungkapnya.
Sutikno berharap, pemanfaatan benteng lebih maksimal.
Misalnya, akan lebih bagus dan bermanfaat luas jika digunakan sebagai museum.
Hal itu dapat dilakukan dengan menjajaki kerjasama antara Polri dan pemerintah daerah.
“Berulang kali saya selalu memohon untuk pemanfaatan benteng, tetapi kalau tidak dikuatkan dengan perundangan tentu mereka owel. Benteng itu sejarahnya kelas international. Kami memohon pemanfaatan benteng harus dilandasi undang-undang,” tutur Sutikno.
Senada dengan Sutikno, salah satu pemerhati seni dan budaya Kabupaten Semarang, Murofik juga menyayangkan banyak kondisi benteng yang berubah padahal ada nilai sejarahnya.
Seperti sumur tua yang ditutup dan dijadikan panggung.
Padahal sumur tersebut konon ceritanya digunakan Pangeran Diponegoro untuk mengambil wudu dan mandi saat menjalani transit penahanan.
“Semestinya tidak melakukan perubahan seperti itu, karena itu melanggar undang-undang,” imbuhnya.