TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Haji badal yang belakangan ngetren inilah yang dulu pernah dihadiahkan pihak keluarga untuk ayah Tri Cahyono.
“Itu musim haji 2001,” tuturnya Tri Cahyono, warga Desa Bendungan, Kecamatan Gondang, Tulungagung kepada SURYA Online (Tribunnews.com Network) yang menemui di rumahnya, Rabu (10/9/2014).
Waktu itu, lanjutnya, istilah haji badal belum populer.
Jangankan masyarakat umum, Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) saja tidak banyak yang membicarakan.
Berbeda dengan sekarang, hampir semua KBIH menyediakan layanan haji badal.
Hanya saja cara membuka layanannya yang berbeda. Ada yang menerima pendaftar dalam jumlah terbatas.
Tapi, ada juga yang justru menjadikan layanan haji badal sebagai layanan andalan dengan promosi gencar.
Lantaran belum populer, ketika itu keluarga Tri tidak berpikir untuk meminta layanan haji badal buat ayahnya.
Keluarga fokus menghibur ibu, yang harus tetap berangkat meski dengan perasaan duka.
Sang ibu baru merasa terhibur setelah beberapa hari berada di Tanah Suci.
Dari omong-omong dengan jemaah, ia tahu sekaligus menemukan orang yang bersedia menjadi badal untuk suaminya.
“Ibu yang kemudian minta seorang pembimbing agar mau menjadi badal buat Abah,” tutur pria yang biasanya dipanggil Gus Tri itu.
Tarif menjadi petugas badal itu dipatok Rp 5 juta. Angka itu untuk ukuran 2001 sudah terbilang besar.
Biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) saat itu cuma sekitar Rp 22 juta. Tapi, soal uang tidak masalah bagi kelurga Gus Tri. Tinggal diambilkan dari pengembalian BPIH.
Semua calon jemaah yang meninggal sebelum berangkat, uang BPIH-nya dikembalikan penuh oleh pemerintah. (day)