TRIBUNNEWS.COM,SLEMAN - Para penggarap lahan pertanian yang mengandalkan pengairan dari aliran Selokan Mataram di Kabupaten Sleman, DIY, kini petani mengeluh.
Sebab, mereka harus membayar ketika membutuhkan air untuk keperluan lahan.
Mereka keberatan dengan pembayaran itu tapi tak kuasa menolak.
Besaran uang yang diberikan petani untuk mendapatkan air dari Selokan Mataram disesuaikan dengan luas area lahan yang dimiliki.
Diperkirakan pada lahan seluas 1.000 meter persegi harus membayar antara Rp 5.000-Rp 10.000 sekali aliran.
Rata-rata, pada setiap blok lahan terdapat puluhan hektare yang terdiri dari sekitar 25 pengelola lahan atau petani.
Padahal, dalam menanam padi, mulai pembibitan hingga masa menjelang panen, membutuhkan waktu sekitar empat bulan. Sementara ketika musim kemarau, jika ingin tetap panen dengan hasil bagus, para petani membutuhkan pengairan setidaknya dua hari sekali.
"Sekarang, karena harus membayar kami terpaksa mengurangi kebutuhan air. Biasanya butuh dua hari sekali harus dialiri air. Kalau sekarang kadang malah hanya beberapa kali sebulan. Kalau begini, hasilnya bagus dari mana?" kata seorang petani dengan nada kesal.
Ketika petani sudah membayar, selanjutnya petugas akan membukakan pintu air sehingga aliran mampu masuk ke lahan petani.
Namun aliran tersebut hanya bisa masuk ke lahan petani yang sudah setor.
Memang banyak pintu air kecil di sepanjang Selokan Mataram yang difungsikan untuk irigasi lahan di setiap blok.
Namun pintu-pintu air tersebut digembok dengan kunci khusus, sehingga air dipastikan tidak akan bocor ke lahan petani yang tidak membayar.
"Normalnya, ketika Selokan Mataram debit airnya besar kan seluruh lahan pertanian bisa teraliri air, tapi ini tidak. Sudah terjadi sejak lama, tapi tidak separah dua tahunan ini. Kalau semuanya baik-baik saja, rakyat tidak akan berkoar-koar," katanya.