TRIBUNNEWS.COM, BOJONEGORO - Rezeki di tangan Tuhan. Begitu kiranya ungkapan yang patut ditujukan kepada Nur Ali (36) dan warga sedesanya.
Pria yang mengawali usaha kerajinan kayu jati erosi dari iseng belaka, kini menjadi pengusaha sukses. Omset usahanya lebih dari Rp 50 juta per bulan.
Ketika Surya bertandang ke rumah Nur di Jalan Raya Ngawi Cepu Dusun Plumpungan, Desa Geneng, Kecamatan Marhomulyo, Kabupaten Bojonegoro, tumpukan akar jati erosi yang sudah dibentuk menjadi meja, kursi, dan jamur terlihat di teras rumah.
Di belakang rumah, suara mesin pemotong dan penghalus kayu menderu-deru seolah sedang berlomba.
15 Orang pegawainya silih berganti mengangkuti akar-akar jati untuk didekatkan mesin pemotong. Akar-akar tersebut terlihat seolah sedang menunggu giliran.
Nur memulai usahanya sekitar 15 tahun lalu. Semula, ia iseng menaruh sebuah akar jati erosi di depan rumah, menirukan beberapa warga desa lainnya.
Kala itu, pria yang pernah gagal bisnis ayam potong itu berpikir, daripada dijadikan kayu bakar, lebih baik dipajang.
“Siapa tahu ada yang berminat. Saya menunggu beberapa hari, tak ada yang menawar. Tapi saya bersabar. Tidak lama kemudian ada yang membeli seharga Rp 65.000. Saya sempat diejek tetangga, buat apa ambil kayu karena kotor. Tapi saya bilang, yang penting niat kerja tidak mencuri,” cerita Nur yang juga mantan buruh tani ini.
Semua barang buatannya dipilih dari bahan akar jati erosi.
Menurutnya, akar itu sangat keras, tak perlu dibentuk lagi, tinggal mengikuti bentuk asli akarnya saja lalu dihaluskan, sudah jadi bagus.
Bentuk-bentuk akar itu beragam, kalau sedang nasib baik, bisa mendapatkan bentuk binatang. Bentuk itu banyak peminatnya dan harganya lumayan dibanding yang biasa.
Untuk mendapatkan bahan akar jati erosi, Nur mengambil akar-akar itu di tengah hutan di kawasan antara Ngawi, Madiun, dan Cepu seizin pihak PT Perhutani sebagai pemilik wilayah. Jarak lokasi pengambilan kayu sekitar 100 km dari rumahnya.
Dari tahun ke tahun, bisnis kerajinan Nur berkembang. Sekarang ia menjual akar kayu jati yang sudah berbentuk meja konsul, kursi, jamur, dan souvenir.
Benda-benda itu masih setengah jadi, harganya dipatok mulai Rp 50.000 hingga RP 5 juta untuk ukuran besar.
Harga akar erosi ukuran besar dipatok antara Rp 750.000 sampai Rp 5 juta, meja besar antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta, kursi Rp 250.000 sampai Rp 500.000.
Sedangkan souvenir berukuran kecil dihargai Rp 50.000 per unit. Setiap bulan, Nur mengirim pesanan 1.000 souvenir ke berbagai daerah.
“Kalau bentuk bagus, karakternya bagus, ada daya seninya, saya jual Rp 5 juta. Kalau souvenir, meja, kursi biasanya sudah ada yang pesan sebulan sebelumnya. Mereka dari Bali, nanti diekspor ke Jerman dan Prancis,” beber suami Ana Setiyowati ini.
Tetangga sebelah rumah Nur, Waito malah menjual kursi berukuran besar antara Rp 4 juta hingga Rp 9 juta. Waito juga membentuk akar jati menjadi daun berukuran besar, khusus bentuk daun dijual Rp 750.000.
“Saya pernah jual barang harganya Rp 10 juta, tapi ya barangnya istimewa (bagus sekali). Waktu itu pembeli orang Indonesia saja, tapi katanya mau diekspor,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Jati Aji yang menaungi 80-an pengrajin akar jati erosi di Desa Geneng, Yuli Winarno berharap pemerintah bisa mencarikan jaringan pasar barang jadi.
Selama ini, pengrajin di desa itu hanya menjual barang setengah jadi saja, jika sudah menjadi barang jadi, tentu harganya jauh lebih mahal.
“Kadang kala, pihak Dinas Perindustrian mengajak kami ikut pameran, tapi ya begitu, pernah barang jadi (sudah halus dan dipernes) kami pamerkan, tapi dimarahi oleh orang yang kulakan barang dari kami,” papar Yuli.
Meski hanya menjadi pemasok barang setengah jadi, kata Yuli, perputaran uang dari usaha kerajinan akar jati erosi oleh anggotanya sudah mencapai Rp 1,5 miliar sebulan.
Nilai itu bisa disebut fantastis bagi desa yang tak memiliki potensi apa-apa dan penduduknya juga hanya bisa mencari kayu bakar sebelum menjadi pengrajin.
“Kebangaan kami, sekarang kerajinan ini sudah bisa menciptakan lapangan kerja, kerawanan sosial (begal) sudah tidak ada. Keuntungan dari hasil penjualan kerajinan digunakan anggota kami untuk kegiatan ekonomi lain,” paparnya.
Kini, upah pekerja dari pengrajin mengalahkan UMK Bojonegoro yang hanya sekitar Rp 1,3 juta. Upah pekerja untuk kuli Rp 40.000 per hari, tukang Rp 75.000 per hari.
Sekarang ada sistem borongan. Orang yang menggunakan sistem borongan bisa menghasilkan Rp 250.000 per hari.