TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA — Keputusan Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengangkat putri pertamanya, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, menjadi putri mahkota berpotensi menimbulkan perdebatan.
Hal itu karena, dalam sejarah Keraton Yogyakarta, belum pernah ada seorang perempuan yang dinobatkan sebagai raja.
"Penobatan GKR Pembayun sebagai putri mahkota berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam di internal Keraton Yogyakarta dan di masyarakat," kata dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Bayu Dardias, Rabu (6/5/2015).
Pada Selasa (5/5/2015) siang, Sultan Hamengku Buwono X kembali mengeluarkan sabda raja di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta.
Dalam sabda itu, Sultan menetapkan nama baru bagi GKR Pembayun, yakni Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.
Beberapa abdi dalem dan kerabat keraton menyebut, GKR Pembayun juga telah ditetapkan sebagai putri mahkota.
Sebelumnya, Kamis (30/4/2015), Sultan juga mengeluarkan sabda raja. Sabda raja itu antara lain berisi perubahan gelar Raja Keraton Yogyakarta dari Sultan Hamengku Buwono menjadi Sultan Hamengku Bawono.
Selain itu, gelar Kalifatullah yang melekat pada Raja Keraton Yogyakarta juga dihapus. Adapun frasa "kaping sedasa" dalam gelar Sultan Hamengku Buwono X diubah menjadi "kaping sepuluh".
Bayu memaparkan, sejak terbentuknya Keraton Yogyakarta pada tahun 1755 hingga sekarang, raja selalu dijabat oleh laki-laki.
Saat raja yang bertakhta tak memiliki anak lelaki untuk menggantikannya, seperti dalam kasus Sultan Hamengku Buwono V, takhta raja diserahkan kepada adik lelakinya.
"Ketika HB V wafat, beliau belum memiliki anak laki-laki. Namun, saat itu ada satu istrinya yang sedang mengandung sehingga pilihannya dua, yakni menunggu bayi lahir atau mengangkat adik HB V sebagai raja. Akhirnya, dipilih mengangkat adik HB V sebagai HB VI," kata Bayu.
Dia menambahkan, setelah penetapan itu, istri HB V ternyata melahirkan anak laki-laki. Namun, penetapan adik HB V sebagai raja tidak dibatalkan.
Dari pengalaman itu, pengangkatan GKR Pembayun diyakini akan menimbulkan perdebatan sengit.
Ketua Dewan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta Djoko Dwiyanto menyatakan, pengangkatan GKR Pembayun sebagai putri mahkota pasti akan menimbulkan perbedaan pendapat di internal keraton.
"Perubahan ini radikal dan revolusioner. Dalam sejarah keraton, kan belum pernah ada putri mahkota. Yang ada putra mahkota," tuturnya.
Menurut Djoko, Sultan HB X harus segera menjelaskan maksud dan tujuan dua sabda raja yang disampaikannya, termasuk terkait pengangkatan GKR Pembayun sebagai putri mahkota.
Sultan juga sebaiknya segera menggelar pertemuan dengan kerabat keraton agar ada kesamaan pendapat.
"Lingkaran dalam keraton harus solid. Kalau sampai ada konflik, kan, tidak baik. Ini akan mengganggu implementasi keistimewaan Yogyakarta," ujarnya. (*)