TRIBUNNEWS.COM, BALI - Hamidah dengan mengenakan jaket tipis miliknya duduk di depan rumah bedeng tempat tinggal kerabatnya di wilayah Denpasar Barat. Rumah bedeng tersebut menyatu dengan area penimbunan pasir dan kerikil yang ditinggali oleh beberapa keluarga yang bekerja di sana.
Saat itu ia sedang menunggu petugas untuk membawanya menjalani pemeriksaan terkait tewasnya Angeline. Kepada Kompas.com Minggu (14/6/2015) Hamidah mengaku sangat terpukul dengan tewasnya anak keduanya.
"Saya tidak berniat sama sekali untuk memberikan Angeline kepada siapapun. Keadaan yang memaksa saya untuk merelakan dia diasuh oleh orang lain. Seandainya saat itu kami memiliki uang untuk membayar biaya kelahiran anak saya," kata Hamidah dengan mata sayu.
Ia mengaku tidak memberitahukan kehamilannya yang kedua kepada saudara yang ada di Bali atau pun di Banyuwangi karena tidak ingin merepotkan. "Saya sungkan merepotkan keluarga. Apalagi anak saya yang pertama ikut keluarga suami saya yang pertama," kata perempuan kelahiran 6 November 1987 tersebut.
Anak ketujuh dari sembilan bersaudara tersebut mengaku pertama kali berangkat ke Bali pada tahun 2001 dan bekerja di salah satu warung milik kerabatnya. Lalu ia menikah pada tahun 2005 dengan Rosidiq warga Gombeng Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi.
"Keadaan kami memang tidak punya apa-apa. Suami bekerja sebagai buruh dan kami tinggal di Bali serta menitipkan Inna anak saya yang pertama di Banyuwangi," tuturnya.
Saat hamil anak keduanya, dia sama sekali tidak ada niat untuk memberikan kepada orang lain. Sebelumnya ia juga tidak pernah mengenal Margriet.
Ia baru mengenal setelah suaminya mengenalkan Margriet sebagai orang yang akan mengadopsi anak keduanya. "Suami saya katanya kenal dari temannya. Ibu itu yang akan membayar biaya persalinan saya," ujar perempuan berambut lurus tersebut.
Untuk masalah surat perjanjian dengan Margriet ia mengaku tidak begitu memahaminya. Yang ia ingat hanyalah tidak boleh menemui Angeline hingga usia 18 tahun.
"Selama 18 tahun saya sebagai ibu kandungnya selalu ingat sama dia. Jangankan tahu wajahnya saat dewasa. Namanya saja saya juga baru tahu setelah ia dikabarkan hilang," katanya sambil menghela nafas.
Menjadi TKW di Malaysia
Amar, kakak kedua Hamidah bercerita bahwa keluarga besarnya sama sekali tidak tahu kehamilan kedua adiknya. Ia hanya dikabari jika adiknya sudah melahirkan di Bali dan anaknya sudah diadopsi.
"Setelah melahirkan anak keduanya, Hamidah menjadi TKW ke Malaysia. Saya sering kontak sama dia karena saya juga kerja di Malaysia. Dia di Kuala Lumpur," kata lelaki yang juga tinggal di Bali tersebut.
Selama dua tahun dia Malaysia, Hamidah beberapa kali mengirimkan uang kepada anak pertamanya yang diasuh keluarga ayah kandungnya. Setelah dua tahun di Malaysia, Hamidah kembali ke suaminya dan hamil anak ketiga.
"Rumah tangga mereka memang tidak harmonis sehingga mereka memutuskan untuk berpisah setelah kelahiran anak ketiga Aisyah yang sekarang diasuh ibu saya di Glenmore Banyuwangi," kata Amar.
Amar sempat mempertanyakan mengapa suami Hamidah tidak menghubungi keluarga saat kesulitan uang untuk menebus kelahiran anaknya. "Kami mungkin keluarga sederhana tetapi Insya Allah untuk membantu biaya persalinan adik kami masih sangat bisa. Mungkin ini sudah garis Allah," ujarnya.
Sementara itu, Sani kakak perempuan Hamidah mengaku sengaja mengajak Hamidah pulang ke tempat tinggalnya setelah pulang dari rumah sakit.
"Saya tinggal di sini sudah sekitar satu tahun. Alhamdulillah enggak perlu bayar karena suami kerja di sini. Walaupun tinggal di rumah yang sederhana, yang penting Hamidah bersama keluarganya. Kasihan dia," kata Sani.
Selain itu, selama Hamidah wira wiri mengurusi kasus kematian anak keduanya, Sani mengasuh Leo, anak keempat Hamidah yang berusia 14 bulan.
"Dia sekarang lagi tidur. Enggak ada yang menjaga jadi ya sama saya di sini. Untungnya sudah minta izin sama juragan yang punya tempat di sini. Mereka memahami kasus yang menimpa keluarga kami. Suami dan kerabat juga enggak ada yang kerja. Semua masih shock dan kami menunggu kabar perkembangan Angeline," kata Sani. (Ira Rachmawati)