Laporan wartawan Tribun Jabar
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG-Pada Soekarno-Hatta, Anda bisa menemukan pemberontakan sekaligus perjuangan menuju kemerdekaan. Perjuangan menuntut kemerdekaan itu kerap kali membawa keduanya hidup dalam pengasingan.
”…sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah mengantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga. Ya, di gerbang hari esok yang pasti akan jauh lebih berarti, yang jauh lebih banyak diceritakan orang secara ramai. Dan, mungkin yang jauh lebih gemerlapan, lebih mewah. Namun, apalah arti kemewahan. Yang penting adalah kebahagiaan dan itu adanya di dalam hati. Ya, yang terpenting adalah soal di dalam hati!Kebebasan, itulah yang terpenting.”(Kuantar Ke Gerbang, hal. 415)
Bila Anda datang ke Bandung, provinsi JawaBarat, tidak ada salahnya bila melewati jalan Ciateul, yang kini bernama jalan Inggit Garnarsih. Berhentilah di sebuah rumah lama yang telah dicat baru.
Di situlah dulu Inggit Garnasih tinggal. Sempatkanlah untuk menengok ke dalam rumah tersebut, niscaya Anda tidak akan menemukan apa-apa, kecuali satu pelajaran, yakni tentang cinta. Cinta di sana tak hanya romansa memadu kisah kasih, melainkan juga cinta yang didasarkan hasrat ingin membawa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, lepas dari penjajahan.
Kini, sebuah rumah bergaya klasik yang berada di sisi jalan Inggit Garnasih nomor 174, Ciateul, Kota Bandung pernah menjadi saksi sejarah kehidupan Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno dan istrinya Inggit Garnasih.
Selama berada di Bandung, rumah itulah yang menjadi tempat Soekarno dan Inggit bernaung. Tempat itu pula yang menjadi saksi saat Soekarno menjalani hari demi hari untuk memperjuangkan bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya.
Kepada Tribun saat mengunjungi lokasi rumah Inggit, beberapa waktu lalu, juru pelihara rumah Inggit, Jajang Ruhiyat (40) menuturkan, rumah tersebut telah mengalami renovasi ulang semenjak ditinggalkan Sukarno karena diasingkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Saat masa pengasingan itu pun, rumah tersebut dijual ke orang lain.Singkat cerita, saat ada keretakan hubungan antara Inggit dan Soekarno, sang istri kembali ke Kota Bandung. Namun, kala itu, Inggit tak memiliki tempat tinggal. Akhirnya, Inggit kembali memiliki rumah berkat bantuan dari rekan-rekan seperjuangannya.
"Rumah yang dibeli ya tanah d isini (rumah Inggit) lagi, letaknya pun sama persis di sini. Jadi ada sedikit ketidaksengajaan tanah ini dibeli lagi," ujar Jajang.
Seiring waktu berjalan, saat rumah itu tak lagi berpenghuni, Jajang mengatakan, rumah itu layaknya rumah kosong lantaran tak ada yang mengurus. Hingga akhirnya, tahun 1997, Pemprov Jawa Barat membeli rumah tersebut sehingga rumah bersejarah itu pun dirawat dengan baik.
Perawatan dilakukan dengan melakukan renovasi terhadap rumah peninggalan sejarah tersebut. Saat dihuni Soekarno dan Inggit dulu, rumah itu masih berbentuk panggung khas rumah tradisional sunda.
"Ini bangunan kedua. Semua bangunan di renovasi ulang, karena gak memungkinkan direnovasi sebagian. Kondisi kayunya sudah rapuh," ujar Jajang yang menjadi juru pelihara sejak tahun 2003.
Meskipun sudah mengalami renovasi, letak posisi ruangan-ruangan masih tetap sama. Di dalam rumah bercat putih tersebut terdapat beberapa kamar. Satu ruangan merupakan kamar belajar Soekarno yang letaknya berada tepat setelah pintu masuk utama.
Ruangan lain merupakan kamar utama yang letaknya di samping kamar belajar, lalu ruangan tempat Inggit membuat jamu. Sisa ruangan diperuntukkan untuk dapur dan ruangan serba guna.
Meski kini tak lagi dihuni Soekarno dan Inggit, namun nuansa kehidupan pasangan suami istri tersebut masih terasa. Sebab, di setiap penjuru ruangan dipenuhi foto-foto Soekarno dan Inggit.
Deretan foto itu menggambarkan beberapa cerita mengenai keduanya. Seperti foto saat Soekarno bersama Inggit yang kala itu masih berstatus sebagai istri dari Sanusi, hingga foto saat Inggit datang ke pemakaman Sukarno. Bahkan, terdapat pula foto pusara dari Inggit Garnasih.