TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Subandi (50), seorang penjual rujak keliling, menggelengkan kepala ketika mendengar kabar bahwa Komisi Pemilihan Umum Kota Surabaya akan membuka kembali pendaftaran peserta pemilihan kepala daerah untuk keempat kalinya, Minggu (30/8/2015). Sebagai warga biasa, Subandi lelah mengikuti informasi itu.
Ia tidak bisa memahami mengapa kota sebesar Surabaya terkesan sulit sekali mencari calon pemimpin. Padahal, kota ini memiliki banyak perguruan tinggi ternama. Orang yang punya keahlian menata dan mengelola sebuah kota pun seharusnya tidak sulit ditemukan. Namun, berbagai kejutan dan masalah terus muncul di setiap tahapan pilkada Surabaya.
Masalah pertama muncul ketika pada pendaftaran peserta pilkada 26-28 Juli 2015, hanya pasangan calon petahana, yaitu Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana, yang mendaftar. Hingga pendaftaran usai, tidak ada pasangan calon lain yang mendaftar.
Fenomena calon tunggal ini kemudian ditangkap KPU dengan kebijakan membuka lagi pendaftaran pada 1-3 Agustus 2015. Senin (3/8/2015) muncul bakal calon lainnya, Dhimam Abror dan Haries Purwoko, yang diusung Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Dhimam adalah mantan wartawan yang juga Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia Jatim dan Haries adalah Ketua Majelis Pimpinan Cabang Pemuda Pancasila Kota Surabaya. Dhimam sudah lama mendeklarasikan diri maju dalam pilkada ini, sedangkan Haries baru terlihat saat pendaftaran.
Namun, saat mendaftar, tiba-tiba Haries menghilang sehingga proses pendaftaran pun dibatalkan. Haries mengaku tidak mendapat restu dari ibunya. Situasi politik menjadi gaduh dan pilkada Surabaya terancam mundur sampai tahun 2017.
Melihat situasi ini, KPU sekali lagi memberikan kesempatan dengan membuka pendaftaran pada 9-11 Agustus 2015. Lagi-lagi pesaing Risma-Whisnu muncul pada hari terakhir pendaftaran. Kali ini, Dhimam Abror menjadi bakal calon wakil wali kota mendampingi Rasiyo sebagai bakal calon wali kota yang juga diusung Partai Demokrat dan PAN. Rasiyo adalah mantan Sekretaris Daerah Provinsi Jatim dan mantan guru.
Pendaftaran Rasiyo-Dhimam diterima KPU. Namun, persoalan baru muncul ketika surat rekomendasi dari PAN berupa surat elektronik yang melampirkan scan foto surat rekomendasi itu. Seharusnya, pada saat pendaftaran, surat yang asli diserahkan. PAN beralasan bahwa mereka sedang menggelar musyawarah wilayah di Kediri sehingga tak sempat membawa surat itu. PAN berjanji akan menyerahkan surat yang asli.
Hari-hari berikutnya, surat rekomendasi itu semakin tidak jelas keberadaannya. Pengurus PAN Surabaya mengatakan tidak tahu. Delapan hari setelah pendaftaran, Rabu (19/8), surat rekomendasi yang asli baru diserahkan kepada KPU Surabaya. Namun, masalah belum selesai karena PAN maupun KPU terkesan menutupi wujud surat rekomendasi itu dan kembali menimbulkan kecurigaan.
Hasilnya, Minggu (30/8) siang, KPU Surabaya mengumumkan bahwa Rasiyo-Dhimam gugur karena berkas mereka tidak memenuhi syarat. Surat rekomendasi yang ditunjukkan saat pendaftaran dan pada masa perbaikan berkas tidak identik. Selain itu, Dhimam juga tidak menyerahkan surat keterangan bebas tunggakan pajak.
Meresahkan
”Kalau pilkada tak jelas, kami juga resah, apalagi kalau akhirnya sampai ditunda gara-gara persoalan yang tidak penting. Surabaya akan dipimpin orang lain yang kami tidak kenal,” kata Ryzkian Ariandi (24), tenaga pengajar Rumah Bahasa, lembaga kursus bahasa asing gratis milik Pemkot Surabaya.
Ryzkian khawatir penjabat wali kota Surabaya tidak memiliki visi yang sama dengan pemerintah sebelumnya. Ia khawatir berbagai program baik yang sudah dirintis terhenti.
Sesuai aturan, jika diundur, Surabaya akan dipimpin oleh penjabat wali kota yang diusulkan Pemerintah Provinsi Jatim dan disetujui Kementerian Dalam Negeri. Jika dihitung dari akhir masa jabatan Risma-Whisnu, penjabat itu akan memerintah Surabaya sekitar dua tahun, waktu yang lama untuk seorang kepala daerah sementara.
Dipimpin seorang penjabat wali kota, kata Ryzkian, ibarat membeli kucing dalam karung. Warga sama sekali tidak mengenal pemimpin tersebut. Berbeda dengan kepala daerah yang melalui proses pilkada yang sudah dikenal ketika berkampanye.
M Irfan, tukang becak, mengatakan, rakyat kecil hanya ingin memilih pemimpin dan berharap pemimpin itu bisa membawa kotanya lebih maju. ”Saya tidak mau tahu soal ontran-ontran (gonjang-ganjing) yang terjadi,” katanya.
Menurut pengamat politik Universitas Muhammadiyah Surabaya, Umar Sholahudin, kegaduhan semacam ini baru kali ini terjadi di Surabaya. Kegaduhan itu berdampak buruk terhadap warga yang tidak memperoleh pendidikan politik yang semestinya. ”Kegaduhan ini terjadi karena sejak awal petahana dipersepsikan sebagai petahana yang sangat kuat sehingga sulit dilawan,” kata Umar.
Lawan-lawan politik petahana pun cenderung berspekulasi ketika memunculkan pesaing. Hal ini juga akibat buruknya kaderisasi di dalam partai politik. Jika partai politik sudah siap 2-3 tahun sebelumnya, bukan 6 bulan sebelumnya, situasi seperti ini mungkin tidak terjadi.
Akibat ketimpangan kekuatan politik itu, Umar menilai, semua yang terjadi selama tahapan pilkada ini merupakan cermin dari hasil dari negosiasi politik. ”Ini menjadi drama yang melelahkan dan warga dipertontonkan adegan yang sebetulnya tidak penting.” katanya.(HERPIN DEWANTO/AGNES SWETTA PANDIA)