TRIBUNNEWS.COM, BANDAR LAMPUNG - Rencana pemerintah memberikan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak atau paedofil, menuai pro dan kontra di Lampung dan daerah lainnya.
Gubernur Lampung, Ridho Ficardo, mendukung kebijakan hukuman kebiri ini. Ia bahkan antusias menyambut terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang hukuman kebiri bagi paedofil.
Hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan terhadap anak mencuat setelah Presiden Joko Widodo menyetujui usulan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa untuk membuat jera paedofil.
Sejumlah lembaga dan tokoh pun mendukung keputusan Jokowi. Kebiri dinilai dapat menghilangkan dorongan seksual seorang pria karena berkurangnya produksi hormon testosteron.
Pemerintah kini tengah menyusun draf perppu untuk merealisasikan aturan itu. Teknis penerapan hukuman kebiri ini nantinya secara resmi akan diajukan oleh Menteri Kesehatan.
Usulan sementara, hukuman kebiri dilakukan dengan cara menyuntikkan zat kimia untuk mengurangi atau menghilangkan asupan hormon testosteron. Hilangnya hormon testosteron akan mengurangi hasrat seksual, obsesi, dan perilaku seksual seseorang.
Ridho mengatakan, untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak, perlu didukung rencana penerbitan perppu tentang hukuman kebiri. Sebab, anak-anak merupakan masa depan atau generasi harapan bangsa. Karena itu, mereka harus dilindungi.
"Saya setuju dengan rencana Pak Jokowi menerbitkan perppu itu," kata Ridho, Jumat (23/10/2015).
Menurut dia, hukuman kebiri setimpal bagi paedofil. Sebab, pelaku kriminal terhadap anak telah merusak masa depan anak.
Ridho bahkan yakin hukuman kebiri bisa memberikan efek jera. Bukan hanya terhadap pelaku yang tertangkap. Tetapi juga mereka yang berniat jahat terhadap anak-anak.
"Lebih dari itu, harapannya memberikan rasa nyaman dan aman bagi anak sebagai generasi penerus bangsa. Anak adalah harapan kita, harapan orang tua. Sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak," jelas dia.
Sementara Humas Diskes Lampung Asih Hendrastuti mengatakan, pelaku kejahatan seksual harus diperiksa juga kesehatan jiwanya. Selain itu, perlu juga pemeriksaan mental maupun kepribadiannya.
"Perlu tes kejiwaan agar diketahui perilaku (kejahatan seksual) itu disebabkan gangguan organik (misal tumor otak, masalah genetik atau kelainan hormon) atau faktor lainnya. Bila tidak ditemukan gangguan organik, harus diperiksa apakah ada gangguan mental atau lainnya," kata Asih.
Asih menuturkan, dalam dunia kesehatan, sehat bukan hanya merujuk kondisi fisik yang terhindar dari kecacatan, tapi juga jiwa. Sedangkan kebiri sama saja membuat orang menjadi cacat secara fisik.
"Meskipun mungkin hidup orang yang sudah cacat jiwa itu tidak berguna lagi, tapi tidak boleh "ngehabisi" hidup dia. Karena itulah, kita tidak boleh menghakimi dengan cara dikebiri atau kastrasi. Lebih baik obati secara fisik dan mental," kata Asih. (Tribun Lampung)