News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kemarau, Siswa Bolos Sekolah untuk Cari Air

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kekeringan menyebabkan warga Desa Sanleo, Kecamatan Malaka Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, harus antre untuk mengambil air bersih, Minggu (1/11). Sumber air ini berjarak sekitar 5 kilometer dari desa mereka.

TRIBUNNEWS.COM, SOE - Sejumlah anak usia sekolah dasar di Kecamatan Kolbano dan Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, meninggalkan pelajaran di sekolah untuk membantu orangtua mereka mencari air bersih. Hal ini berlangsung sejak dua bulan lalu.

Di SDN Kolbano, misalnya, setiap hari berkisar 12-18 anak kelas I-VI tidak masuk sekolah dengan alasan mencari air. Anak-anak tersebut mendorong gerobak berjarak hingga belasan kilometer untuk mengambil air bersih. Kadang-kadang, mereka mengikuti truk proyek yang lewat di Desa Kolbano ke sejumlah sungai dan sumur yang diduga masih menyimpan air bersih.

Kolbano berjarak 90 kilometer dari Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, atau sekitar 140 kilometer dari Kupang, ibu kota Provinsi NTT.

Pada puncak kemarau saat ini, sejumlah sumber mata air, termasuk sumur milik warga, kering. Kekeringan tahun ini jauh lebih buruk dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kesulitan air bersih tidak terjadi sejak awal musim kemarau pada April-Mei.

"Mereka berburu air bersih di sumur-sumur warga atau mencari air sisa di sungai-sungai. Mereka berangkat pagi hari, sebelum makan, supaya bisa mendapatkan air 2-4 jeriken," kata Agustinus Taupan (45), guru SDN Kolbano, Sabtu (31/10). Bahkan, katanya, sebagian siswa tidak mengikuti ujian tengah semester karena berburu air bersih.

Yohanis Noemleni (12), siswa kelas IV SD Kualin di Kecamatan Kualin, mengatakan, jika tidak mencari air, ia ke sekolah tidak mandi, bajunya juga tidak dicuci. Dalam satu pekan, 2-3 hari ia mencari air bersih bergantian dengan orangtuanya.

"Kami pakai gerobak. Jeriken yang berisikan air di simpan di dalam gerobak kemudian didorong sampai ke rumah. Jika sumber air itu berada dekat jalan aspal, gerobak itu mudah didorong. Namun, jika jauh dari jalan umum, kami harus pikul air jauh dari sumber itu menuju jalan utama. Terkadang, sumber air itu ditempuh dengan jalan kaki sampai 5 kilometer," kata Yohanis.

Anggota DPRD NTT Daerah Pemilihan Timor Tengah Selatan, Ampere Seke Selan, mengatakan, Juni lalu, pemerintah berjanji membangun 1.000 sumur dangkal di daerah itu. Namun, sebagian besar kebijakan itu belum terealisasi.

"Pemerintah harus membangun sumur air bersih yang mampu bertahan selama puncak kemarau di permukiman warga, dengan air tawar yang layak dikonsumsi. Dengan ini, anak-anak sekolah tidak lagi harus meninggalkan jam pelajaran hanya untuk mencari air bersih," katanya.

Bantuan pemerintah

Kekeringan juga masih melanda sejumlah daerah, dan warga mengandalkan bantuan air bersih dari pemerintah daerah. Di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, misalnya, krisis air bersih terjadi di 62 desa di delapan kecamatan. Di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, krisis air bersih terjadi di sembilan dari 11 kecamatan yang ada.

Di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pemerintah daerah telah mencabut status Tanggap Darurat Kekeringan yang berlaku sejak 12 September. Namun, karena krisis air bersih belum berakhir, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Temanggung terus berupaya mencari bantuan air bersih untuk disalurkan ke daerah-daerah yang membutuhkan.

Hujan yang tak kunjung turun juga mengakibatkan sawah yang terdampak kekeringan bertambah luas. Tiga bulan lalu, di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, sawah yang kekurangan air sekitar 2.700 hektar, kini paling tidak 5.000 hektar atau sekitar 10 persen dari total luas sawah di Tasikmalaya.

Kepala Bidang Produksi Padi dan Palawija di Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya Heti Herawati, di Tasikmalaya, Minggu (1/11), mengatakan, kekeringan banyak terjadi di sawah dengan usia padi di bawah 30 hari. "Sekitar 300 hektar yang puso atau gagal panen. Mayoritas lahan puso adalah sawah tadah hujan," katanya.

Sekitar 200 hektar lahan tadah hujan di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, juga terancam gagal panen.(KOR/ACI/CHE/REK/ZAK/EGI)

Sumber : Harian Kompas

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini