TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Peristiwa karamnya Kapal Motor (KM) Wihan Sejahtera menyisakan kisah dramatis yang sulit terlupakan bagi Fadli Adam (30).
Pria bekerja sebagai sopir truk besar itu mengaku meloncat dari ketinggian sekitar 30 meter demi menyelamatkan nyawanya sendiri.
Dia tidak pedulikan lagi barang-barang bawaannya. Hanya satu tujuan yang terlintas di benaknya saat itu, selamat.
“Ada Mama dan istri di kampung halaman, makannya saya memilih menyelamatkan diri,” ucap lelaki yang telah kehilangan anak pertamanya itu kepada Surya.co.id, Selasa (17/11/2015).
Sekitar 10 menit setelah mendengar dentuman keras, KM Wihan Sejahtera mulai oleng ke kanan.
Para penumpang segera berhamburan menyelamatkan diri.
Orang-orang yang berada di bawah lari menuju atas mencari posisi aman. Sementara kapal perlahan mulai tenggelam dalam posisi miring.
Saat kapal sudah dalam posisi miring, Rambo, sapaan sehari-hari Fadli Adam memilih menuju bagian atas kapal juga.
Ia mengambil pelampung dan mengenakannya sembari berlari menyelamatkan diri.
Ia berlari menuju bagian depan kapal. Namun ketika kapal mulai tenggelam, Fadli dihadapkan pada keputusan yang sulit. Antara bertahan dan meloncat, Rambo pun memutuskan memilih meloncat.
“Orang-orang teriak. Saya ikut panik lalu mencari selamat. Barang-barang tidak saya pedulikan,” kenangnya.
aat itu, Rambo berada di dek empat, posisi paling atas KM Wihan Sejahtera. Ketika menengok ke bawah, yang terlihat hanya air laut.
Dari ketinggian sekitar 30 meter itulah ia melompat. Rambo mendarat dengan posisi kaki terlebih dahulu menyentuh permukaan air.
Naas, ternyata ada besi besar di bawah air laut. Dari atas besi itu memang tidak terlihat oleh Rambo. Makannya dia berani melompat, pun Rambo mengaku bisa berenang.
Akibat kejadian itu, kedua kakinya mengalami dislokasi pada sendi pergelangan sehingga tidak bisa digerakkan.
Sementara para penumpang yang lainnya memilih bergelantungan di perut kapal dengan tali.
Untungnya Rambo memakai pelampung sehingga ia terapung di laut hingga diselamatkan petugas.
Rambo tidak pernah berpikir apa yang akan terjadi jika ia tidak mengenakan pelampung.
Pasalnya, ia sempat terapung tanpa bisa menggerakan kaki. Akhirnya, Rambo segera diselamatkan tiga petugas. Ia lantas ditarik naik ke perahu kecil.
Rambo sempat menunggu di tengah ombang-ambing laut Teluk Lamong selama dua jam bersama para petugas penyelamat.
Petugas tidak langsung membawanya ke daratan lantaran masih menunggu evakuasi korban lain. Rambo pun berjuang keras menahan sakit di kedua kakinya.
Setelah sekitar dua jam berlalu, Rambo langsung dibawa ke daratan.
Ia segera dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Port Health Center (PHC) yang berjarak sekitar 1 Km dari Pelabuhan Tanjung Perak. Di RS PHC, perawat lekas membawanya ke ruang Intalasi Gawat Darurat (IGD).
Kaki kanannya diperban dan ditopang dua bilah kayu di bagian kiri dan kanan.
Sedangkan kaki kirinya tidak diperban. Namun terlihat benjolan atau bengkak akibat ia lompat saat menyelamatkan diri.
Rambo menolak melakukan operasi di Surabaya. Ia lebih memilih menyembuhkan sakitnya di kampung halamannya di Ende, Kelurahan Rukun Lima, Jl Gajahmada, Ujung Aspal.
Apalagi, Rambo tidak memiliki uang untuk membayar operasi. Sekalipun sudah ada bantuan, ia tetap memilih pergi dari Surabaya.
“Biarlah saya pulang besok. Biar disembuhkan secara tradisional di kampung halaman,” tegasnya.
Rencananya, Rambo pulang ke Ende naik pesawat terbang pada Rabu pagi (18/11/2015) sekitar pukul 10.00 wib.
Ia ditemani seorang saudaranya berangkat dari Bandara Internasional Juanda.
Tidak banyak yang ia bawa pulang karena barang-barangnya telah hilang bersama tenggelamnya kapal.
“Ya pakai kursi roda pulang ke kampung halaman,” tambahnya.
Ketika ditemui di RS PHC, Rambo tidak sendirian di ruang perawatan. Ada bibinya, Saudah (45) yang menemani Rambo. Saudah, yang akrab dipanggil Mama Leman tampak lemas. Matanya terlihat merah.
Saudah mengaku keempat keponakannya menjadi korban tenggelamnya KM Wihan Sejahtera.
Dari penuturannya, tiga keponakannya selamat, sedangkan yang mengalami luka hanya Rambo.
Ketiga keponakannya berada di hotel dan segera pulang dalam waktu dekat.
Setiap kali ke Surabaya, Rambo selalu mampir ke rumah bibinya di kawasan Bambu Ijo, Kandangan, Kota Surabaya.
Sepanjang hidupnya, Saudah mengaku baru kali ini mengalami kejadian seperti ini.
Perempuan yang telah tinggal selama 30 tahun di Surabaya itu berharap kejadian serupa tidak terulang kembali.
“Kejadian ini mengagetkan saya. Saat itu saya dihubungi saudara dari Flores dan saya langsung datang ke RS ini,” kata Saudah.
Pekerjaannya sebagai sopir membuat Rambo kerap datang ke Surabaya.
Dalam sebulan, bisa sampai empat kali pergi dan pulang dari Ende ke Surabaya.
Pasca kejadian, Rambo belum bisa memikirkan apakah tetap bekerja sebagai sopir atau mencari pekerjaan lainnya.
Untuk sementara waktu, ia ingin bertemu keluarga dan menyembuhkan lukanya dulu.