TRIBUNNEWS.COM, CAMBRIDGE - Teman sekolahnya memanggilnya Yusuf, nama lengkap yang tertera di kartu pelajarnya, Andi Muhammad Yusuf Ian.
Yusuf lahir di Bangkala, Jeneponto, tahun 2002 lalu.
TK dan sekolah dasar dirampungkan di kabupaten yang berjarak sekitar 85 kilo meter utara Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan.
Ayahnya, Andi Burhanuddin Andi, seorang lurah di Turatea, Jeneponto.
Ibunya, Nurmasyitha, juga tinggal di Jalan Pelita No 21, Jeneponto.
Tiga tahun terakhir, Yusuf menuntut ilmu di Bosowa Boarding school.
Ia tinggal di sekolah berasrama dengan 40-an temannya.
Dia dalam pengawasan ketat guru, pembimbing asrama, dengan program pelajaran extra dan intra class setara.
Yusuf, siswa kelas IX di SMP Bosowa International School, Makassar.
Sejak 21 November lalu, bersama 24 siswa SMP Bosowa International School Makassar dan Bosowa Bina Insani di Bogor, Yusuf ikut program 2015 Bosowa School Home Stay di United Kingdom.
Rabu (2/12/3)2015) ini adalah hari ke-10 Yusuf tinggal dan membaur dengan keluarga Mrs Asare Parbi, di Cambridge, timur London.
Di rumah urban Afro-British itu, di Jalan Cadwin Field No 10, selatan pusat kota Cambridge, Yusuf tinggal bersama teman kelasnya, Fauzie Rahmadi Aritedja.
Bahkan, Selasa (1/12/2013) malam, Yusuf membuatkan ibu tuan rumahnya pisang goreng ala Jeneponto.
"Pisangnya sudah ada, orang Inggris hanya makan mentah, makanya saya goreng dan house family saya senang sekali," kata Yusuf menceritakan pengalamannya menggoreng pisang dengan minyak nabati di kompor gas portabel.
Jika Yusuf anak lurah, maka Fauzie adalah anak bungsu dari pasangan guru besar di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Ayahnya, Prof Dr Abu Bakar Tawali MA dan ibunya Prof Dr Meta Mahendratta.
Keluarga ini bermukim di Komplkes Dosen Unhas, Tamalanrea.
Yusuf dan Fauzie, sama-sama masih berusia 13 tahun.
Jika takaran aqil baligh di usia 17 tahun, maka 4 tahun lagi, keduanya akan menyandang gelar remaja.
Namun 10 hari terakhir, program home stay yang digagas Bosowa School di Inggris, memaksa Yusuf, Fauzie dan 24 teman SMP lainnya, merasakan iklim dan ritme kehidupan mahasiswa lima tahun lebih cepat.
Sejatinya, Yusuf baru masuk kelas program english elementary, tahun 2019 mendatang.
Namun di Cambridge, Yusuf malah sudah kursus bahasa Inggris dasar bersama calon siswa dari Spanyol, China, dan Thailand di Learning Studies Internasional (LSI) di Tenison Road, sekitar 1,2 km dari kampus utama Cambridge University.
Guru dan sekolahnya bahkan mewajibkannya berbahasa Inggris.
Itu bagian dari penilaian 12 guru senior, yang semuanya native speakers, asli British, ada sebagian keturunan Irish dan Scotland.
Meski tak tinggal di asrama, namun tiap pukul 05.00 pagi, saat matahari belum lagi berpendar di timur Inggris, Yusuf dan Fauzie sudah bangun.
Wudhu lalu salat di kamar rumah seorang yang tidak seiman dengannya.
Tiap pukul 07.00 am, Yusuf sudah ke sekolah sendiri.
Jalan kaki ke halte bus di lingkungan rumah orangtua angkatnya, lalu naik bus ke sekolah.
Jika di asrama di berbahasa Inggris dalam pengawasan guru, dan kepala asrama, maka di Cambridge, Yusuf harus bisa dan terpaksa berbahasa Inggris.
"Jika tidak, maka mereka tak bisa hidup, tak bisa belajar, dan hanya akan jadi patung di rumah keluarga angkatnya di Inggris," kata Irianto Yossa, satu dari 8 guru pembimbing di program ini.
Di dalam bus bertingkat Scotegate, Yusuf membaur dengan profesional, staf administrasi, tukang kayu, mahasiswa, pelajar, hingga profesional menuju sekolahnya.
Hairuddin Niva Renggang, salah satu guru pembina yang ikut dalam rombongan Bosowa Home Stay 2015, menyebut Yusuf termasuk anak yang menonjol dan termasuk anak yang pemberani dan selalu punya inisiatif di sekolah.
"Kalau Fauzie memang pendiam, tapi selama di Inggris, sudah mulai berinisiatif membuka pembicaraan," kata guru konseling dari Pascasarjana Psikologi UNM itu.
Yang paling heroik, dan tak disangka oleh gurunya, Yusuf dan Fauzie bahkan rela naik sepeda untuk mencari seorang temannya yang kesasar saat pulang dari sekolah, di malam hari.
"Mereka pernah kesasar dengan tiga teman lainnya karena salah naik bus, setelah 2 jam tersesat berjamaah, mereka akhirnya tahu seluk-beluk kota Cambridge, bahkan tahu dimana toko yang menjuak indomie Goreng," kata Hairuddin (thamzil thahir)