Tribunnews.com — Ada yang menarik ketika pesawat N219 tampil perdana di hanggar PT Dirgantara Indonesia (DI), Kamis (10/12/2015).
Berbaju biru, lengkap dengan sarung tangan dan topi bertuliskan N219, dialah Esther Gayatri Saleh, pilot PT DI yang akan menerbangkan pertama kali pesawat hasil karya anak bangsa tersebut.
Esther bersama seorang kopilot akan melakukan uji coba penerbangan N219 pada tahun depan.
“Doakan mudah-mudahan saya bisa menerbangkan N219 tahun depan. Bisa menerbangkan pesawat hasil bikinan teman-teman merupakan kebanggaan buat saya,” ucap Esther kepada Kompas.com, Kamis (10/12/2015).
Esther bukan orang kemarin sore dalam dunia penerbangan. Dia sudah menjadi pilot selama 31 tahun dengan 6.500 jam terbang.
Hebatnya, jam terbang Esther didominasi untuk test flight suatu hal yang jarang diminati pilot pada umumnya.
“Pengalaman tentunya banyak. Pernah pesawat jatuh dari ketinggian 10.000 ke 5.000 terus recover. Setelah penerbangan, kami lakukan evaluasi kenapa bisa seperti itu. Itu standar dalam melakukan test flight,” papar Esther.
Semua tantangan dan bahaya itu dihadapi dengan sukacita. Baginya, menjadi pilot bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan visi dan panggilan Tuhan.
Ia menilai, pekerjaan tanpa visi akan membuat seseorang tidak tahu harus berbuat apa. Selain itu, Esther memang suka hal-hal yang menantang.
Sejak kecil, dia bercita-cita menjadi wartawan perang atau pilot. Keinginannya untuk menjadi wartawan pun terpenuhi.
Pada 1976-1978 ia menjadi wartawan cilik yang kerap dipanggil untuk meliput banyak acara, termasuk di Istana Negara.
Setelah itu, keluarga Esther pindah ke Tarakan, Kalimantan Utara, karena sang ayah bertugas di kantor Imigrasi kota itu.
“Di Tarakan, saya pegang-pegang kamera. Sampai suatu hari saya jatuh cinta pada dunia penerbangan. Saya pun memutuskan untuk sekolah pilot di Amerika Serikat,” tuturnya.
Sekembalinya dari AS, Esther dipercaya mantan Presiden Habibie menjadi pilot di PT DI.
Padahal, saat itu masalah jender adalah isu yang sangat sensitif. Pilot perempuan akan sulit diterima.
“Tetapi, Pak Habibie tidak memedulikan masalah jender. Akhirnya saya menjadi pilot dan menerbangkan pesawat-pesawat PT DI mulai dari 212, 235, dan lainnya,” tutupnya. (Kontributor Bandung, Reni Susanti)