Laporan Wartawan Tribun Pekanbaru, Budi Rahmat
TRIBUNNEWS.COM, PEKANBARU - Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) serta Indonesian Corruption Watch mendesak presiden Joko Widodo membuka kembali Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) 14 perusahaan yang bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) di Riau.
SP3 itu dikeluarkan semasa Kapolda Riau Brigjen Pol Hadiatmoko pada 22 Desember 2008 silam.
Hadiatmoko memutuskan mengeluarkan surat sakti tersebut dengan alasan 14 perusahaan tersebut sudah memiliki izin.
"Langkah yang diambil oleh Hadiatmoko berbanding terbalik dengan apa yang telah dilakukan oleh Kapolda Riau sebelumnya, Brigjen Pol Sutjiapdi. Sepanjang tahun 2006-2008, beliau menetapkan 14 perusahaan pemasok kayu untuk RAPP dan IKPP sebagai tersangka," ungkap Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah dalam kegiatan media breafing membahas sejumlah kasus kehutanan Riau, di Hotel Ibis Selasa (22/12/2015).
Penetapan tersebut menurutnya dilengkapi dengan barang bukti 90 truk kayu dan 2 juta meter kubik log tanpa dokumen resmi.
"Namun saat Hadiatmoko menggantikan Sutjiapdi kasus tersebut terkubur, " ujar Woro.
Padahal akibat aksi pembalakan liar yang dilakukan oleh 14 perusahaan penyuplai kayu untuk dua perusahaan pembuat kertas besar tersebut, mengakibatkan negara rugi mencapai Rp 2 ribu triliun.
Angka yang hampir sama dengan APBN.
Hari ini tepat 7 tahun kasus SP3 14 perusahaan HTI Riau.
Menurut Woro setahun pemerintahan Jokowi menunjukkan adanya perbaikan tata kelola kehutanan yang dimonopoli korporasi.
Salah satunya dengan menghadirkan negara dalam memberantas mafia hutan.
"Karena itu kami berharap presiden dapat memerintahkan Kapolri agar membuka kembali SP3 14 perusahaan yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2008 silam. Untuk itu kami bersama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lainnya seperti Walhi dan Eyes On The Forest mendesak Presiden Joko Widodo kembali membuka SP3 Illog Riau. Salah satu bukti kongrit adalah 6 juta rakyat riau yang menderita akibat terpapar asap sejak tahun 2013 hingg 2015," pungkas Woro. (*)