TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menancapkan visi Indonesia menjadi poros maritime dunia.
Sebagai negara bahari dengan lebih dari 17 ribu pulau, Indonesia telah lama membelakangi lautan dan kini saatnya kawasan bahari menjadi orientasi baru dan laut sebagai masa depan bangsa Indonesia.
Sebagai tindak lanjut dari visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritime dunia, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertingal, dan Transmigrasi Marwan Jafar telah mengidentifikasi dua persoalan serius yang dihadapi oleh masyarakat desa pesisir.
Pertama, para nelayan yang juga sebagai masyarakat desa pesisir masih tidak berdaya secara ekonomi dan politik.
Hidup mereka terjerat oleh para pemburu rente, cukong, atau tengkulak nakal, yang memanfaatkan para nelayan yang miskin modal, akses pasar untuk keuntungan pribadinya.
"Tidak sedikit para nelayan, masyarakat desa pesisir berhutang kepada para tengkulak atau rente untuk membeli bahan bakar kapal dan memiliki kewajiban untuk dijual hanya kepada mereka dengan harga yang rendah," ujarnya,Kamis (28/1/2016)
Pernyataan Marwan ini disampaikan saat menjadi Keynote Speaker dalam acara seminar nasional sewindu Centre for Lokal Law Development Studies Universitas Islam Indonesia (CLDs UII) 2016 di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Persoalan kedua, lanjut Marwan, masyarakat pesisir mempunyai desa tetapi tidak memiliki tradisi berdesa yang kuat.
Desa hanya merupakan unit administratif. Desa tidak mempunyai otoritas dan kapasitas yang memadai sebagai basis kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat, termasuk tidak mampu memberikan proteksi, fasilitasi dan konsolidasi bagi nelayan.
"Agenda poros maritim dunia tentu sangat menjajikan bagi pertumbuhan ekonomi. Tetapi jika agenda besar ini melupakan desa pesisir maka ketimpangan akan semakin lebar,” tandasnya dihadapan peserta seminar.
Menteri Marwan senantiasa menegakkan pilar-pilar kemaritiman sebagai bagian dari orientasi program kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Arah pertama adalah untuk mewujudkan masyarakat desa terutama di wilayah pesisir memiliki orientasi bahari.
"Ini bisa juga disebut sebagai ‘membaharikan desa’ yang antara lain dengan menumbuhkan wisata Desa pesisir, budidaya rumput laut, mutiara, perikanan tangkap dan lain sebagainya," ujar Menteri Marwan.
Arah kedua adalah mendesakan bahari atau memperkuat desa dalam pembangunan poros maritim.
Memperkuat desa bermakna memupuk tradisi berdesa atau memberdayakan desa pesisir tumbuh menjadi desa yang maju, kuat, mandiri dan demokratis seperti amanat UU Desa.
Istilah mendesakan bahari, lanjut Menteri Marwan, mengandung dua makna. Pertama, pembangunan poros maritim harus memiliki kepekaan terhadap entitas desa pesisir.
Kedua, memperkuat posisi desa dalam mengambangkan usaha ekonomi Desa, memangkas jalur rente yang selama ini membelit masyarakat desa pesisir.
Pembangunan poros maritime harus memiliki kepekaan terhadap entitas desa pesisir karena Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kuat dilandasi oleh desa yang kuat.
Demikian juga, poros maritim yang kuat dan sejati bila ditopang oleh desa bahari yang kuat.
"Jangan sampai pelabuhan-pelabuhan dibangun megah, ramai, dan padat namun tidak memberikan dampak apapun terhadap masyarakat Desa setempat," imbuhnya.
Menteri Marwan pun akan berjuang agar pelabuhan utama maupun pelabuhan pengumpul, industri perkapalan, pariwisata bahari agar mengedepankan semangat kolektivitas dengan masyarakat Desa.
Dengan demikian kesejahteraan masyarakat desa yang dibangun dengan skema poros maritim benar-benar terjadi.
"Semangat dari mendesakan bahari yang kedua adalah membuka hak dan akses desa terhadap sumberdaya bahari untuk menghidupi desa dan masyarakat desa," jelasnya.
Selain itu, arah dari program membaharikan desa adalah memperkuat posisi desa dalam mengambangkan usaha ekonomi Desa, memangkas jalur rente yang selama ini membelit masyarakat Desa pesisir," tegasnya.
Salah satu langkah yang dilakukan untuk menghadapi para rente tersebut adalah dengan menggerakkan desa untuk turun tanggan menolong masyarakatnya sendiri.
Misalnya dengan membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang bisa memainkan peran proteksi dan fasilitasi terhadap para nelayan agar mereka tidak terjerat pada rentenir atau cukong, sekaligus melakukan konsolidasi kekuatan ekonomi nelayan.
"Dengan konsolidasi itu, BUMDesa juga dapat membeli kapal besar untuk menampung hasil tangkapan para nelayan, agar para nelayan tidak habis waktu maupun bahan bakar untuk kembali ke darat karena khawatir ikan hasil tangkapan rusak atau busuk," kata Marwan.
"Dengan demikian, BUMDesa bisa menggeser para cukong itu, tentu dengan semangat solidaritas sosial yang memperkuat dan menyejahterakan para nelayan," terangnya.