Sedemikian besarnya magnet Jakarta sebagai kepusatan atas banyak hal, tidaklah heran jika menjadi Gubernur Jakarta menjadi incaran utama panggung politik.
Pak Jokowi mundur dari Solo untuk menjadi Gubernur Jakarta tahun 2012 yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia di tahun 2014. Pak Ahok mundur dari anggota DPR untuk berpasangan dengan Pak Jokowi.
Pak Alex Nurdin mundur sebagai Gubernur Sumsel, dan balik lagi ketika kalah. Tahun depan Pak Ahok pun bersiap untuk pemilihan berikutnya. Dan karena satu dan lain hal, tawaran dan kesempatan itu pun datang kepada saya.
Saya tidak melakukan upaya apapun yang bersifat mempromosikan diri ke warga Jakarta. Sehingga ketika hasil survey menyatakan popularitas dan elektabilitas tiba-tiba-tiba naik, saya duga karena apa yang saya lakukan di Bandung dengan mudah dikonsumsi warga Jakarta via media sosial.
Jangan lupa Jakarta adalah kota Twitter paling cerewet se dunia. Kenapa tidak segera menyatakan maju atau tidak? Sebagai manusia timur, saya dilatih ibu saya untuk menghormati silaturahmi.
"Jangan menolak undangan silaturahmi dan perbanyak takziah pada yang baru meninggal,” itu pesan rutin Ibu saya. Saya paham maksudnya, dengan silaturahmi persaudaraan berlipat. Dengan takziah, rasa syukur dan semangat hidup bertambah.
Itulah kenapa selama 3 bulan terakhir saya tidak langsung menyatakan iya atau tidak terhadap tawaran menjadi calon Gubernur DKI.
Saya menghormati masukan dan aspirasi dengan menghadiri undangan silaturahmi dari beragam kelompok warga dan tokoh Jakarta.
Saya mendatangi informal undangan dari 4 parpol. Dalam kurun waktu tersebut, saya mendengarkan dengan seksama masukan langsung dari Bapak Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, termasuk berdiskusi hangat dengan Pak Prabowo Subianto.
Saya memperhatikan masukan warga via media sosial juga. Dan sampai hari Minggu 28 Februari 2015 pun saya masih menerima silaturahmi tokoh-tokoh nasional di Jakarta. Semua saya dengarkan dengan baik.
***
Memenangkan pemilihan Gubernur Jakarta 2017 bukan hal yang mustahil. Saya dulu memulai pemilihan di Bandung dengan 6% sebagai ’nobody’, sementara incumbent sudah 30%. Dan akhirnya menang 45% dengan determinasi dan strategi kreatif ini itu. Dari survey terakhir di Jakarta yang masuk ke saya, popularitas sudah 60% dan elektabilitas 20%.
Dan ini pun, dengan saya tidak melakukan apa-apa. Belum bergerak. Gak takut kalah? Menang kalah dalam hidup adalah biasa. Cinta saya pernah ditolak 2 kali.
Kalah dalam sepakbola sering. Masuk arsitektur gara-gara tidak berhasil masuk Teknik Kimia ITB dan saya pernah dilecehkan berkali-kali saat di Amerika karena minoritas dan faktor ras.