News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Nyadran, Tradisi Warga Ungkapkan Rasa Syukur Sekaligus Doakan Kartini

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ratusan warga Dusun Sorobayan dan Dusun Ngepos, Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang menggelar sadranan atau nyadran, Kamis (21/4/2016) pagi.

Laporan Wartawan Tribun Jogja, Agung Ismiyanto

TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG - Mendung tak menghalangi ratusan warga Dusun Sorobayan dan Dusun Ngepos, Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang untuk menggelar sadranan atau nyadran, Kamis (21/4/2016) pagi.

Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, mereka mendoakan secara khusus pejuang emansipasi wanita ini.

Bagi warga di desa tersebut, Nyadran sebagai ungkapan syukur hampir tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat.

Nyadran ditujukan untuk menghormati leluhur dan ucapan syukur pada Tuhan atas beragam kelimpahan rezeki.

Warga sekitar membawa aneka makanan, yang terdiri dari tumpeng, ingkung ayam, dan aneka sayuran berupa perkedel, rempeyek kacang, sambel goreng, ikan asin, dan lainnya.

Makanan ini kemudian dihamparkan di alas daun pisang dan tikar.

Ratusan warga duduk bersila di halaman depan Masjid Al-Ikhsan. Sambil duduk di alas tikar, mereka kemudian memanjatkan doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa setempat.

Setelah berdoa, warga kemudian menggelar makanan yang dibawa dari rumah.

Mereka kemudian saling menukar makanan mereka kepada warga yang duduk di depannya atau samping kanan dan kirinya.

Beberapa diantaranya juga terlihat menyantap masakan milik orang lain.

Senyum dan suasana kekeluargaan pun terlihat begitu hangat melalu tradisi yang biasanya digelar setiap awal bulan Rajab atau lebih kurang sebulan sebelum Ramadan dalam kalender Islam.

"Secara khusus dalam sadranan ini, kita juga mendoakan RA Kartini sebagai wanita pintar yang sudah meningkatkan derajat wanita. Serta membuat kaum intelek," ujar sesepuh Desa Banyuurip, KH Nursalim dalam tauziahnya.

Bahkan, warga diajak untuk mendoakan kedamaian dunia. Hal ini karena di Timur Tengah kerap terjadi gejolak dan perang. Kedamaian ini harus diserukan di seluruh dunia.

Gila
Nursalim mengatakan, Nyadran atau Sadranan berasal dari kata "Sodrun" yang artinya gila.

Pada masa sebelum datangnya walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras.

Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca mantra-mantra.

Kemudian datang para Walisongo yang meluruskan bahwa ajaran mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT. Mantra-mantra yang dibaca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam.

"Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh masyarakat,” tandasnya.

Kepala Dusun Sorobayan, Sholeh menambahkan, tradisi Nyadran merupakan bentuk penghormatan atas jasa-jasa leluhur ketika berjuang membangun kampung yang terletak di kaki Gunung Merbabu itu.

Warga berdoa kepada Tuhan untuk leluhur yang telah meninggal dan menghormati jasa mereka.

"Nyadran juga merupakan dakwah Islam Walisongo tanpa meninggalkan budaya lokal," jelasnya.

Dia menyebutkan, sehari sebelum Nyadran, warga bergotong royong membersihkan kuburan umum dusun, termasuk makam Kiai dan Nyai Polosoro, dilanjutkan dengan tabur bunga.

Sedangkan doa dan makan bersama sebagai puncak tradisi ini dilakukan di halaman Masjid Al Ikhsan Dusun Sorobayan.

Dia menyebutkan, dalam tradisi ini, kenduri menjadi satu rangkaian Nyadran yang paling ditunggu.

"Rasa kebersamaan antar keluarga dan warga lainnya tercipta di moment ini, tanpa membedakan kaya maupun miskin," katanya.

Beberapa pergeseran dalam melestarikan tradisi ini juga terjadi. Dahulu, kenduri dilakukan di sepanjang jalan menuju makam.

Namun karena faktor kebersihan, selanjutnya kenduri dilakukan di jalan dusun ini yang lebih bersih.

"Selain itu, warga juga sudah tidak banyak lagi yang memakai tenong untuk membawa makanan ini. Mereka sudah memakai besek yang lebih praktis," kata Sholeh.

Tak hanya diikuti warga sekitar saja, keluarga dari luar desa yang memiliki leluhur dimakamkan di dusun ini juga datang untuk nyadran dan mendoakan arwah leluhur dan orang tua mereka.

Mereka yang disebut kadus itu, antara lain datang dari Muntilan, Salatiga, Yogyakarta, Semarang, dan Solo. (Tribunjogja.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini