TRIBUNNEWS.COM -- Setibanya di Pulo Manuk, Desa Sawarna, Bayah, Kabupaten Lebak, Banten setelah diculik dari kampung halamannya di Purworejo, Jawa Tengah pada tahun 1943, Sarjo pun langsung memulai bekerja sebagai seorang romusha.
Pekerjaan yang dilakukan Sarjo pada awalnya tergolong ringan, yakni menjadi tukang sapu kantor Jepang di Pulo Manuk.
"Karena saya dianggap masih kecil, jadi disuruh yang ringan-ringan dulu," kata Sarjo yang lahir pada tahun 1925 itu.
Tugasnya sebagai tukang sapu tidak berlangsung lama. Sarjo lalu ditarik untuk membantu mega proyek penjajahan Jepang kala itu: pembangunan rel kereta Saketi - Bayah.
"Kerja setiap hari, dari jam 07.00 sampai 16.00. Capeknya bukan main, dek. Kerja juga di bawah tekanan tentara Jepang yang galak-galak itu, " kata Sarjo.
Di sana jugalah Sarjo pertama kali bertemu langsung dengan salah satu tokoh Pahlawan Nasional Indonesia beraliran kiri, Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka, atau lebih populer dengan nama Tan Malaka.
Sejarah mencatat, Bayah merupakan tempat pelarian Tan Malaka pada tahun 1943.
Tan Malaka terpaksa kabur ke Bayah untuk menghindari mata-mata Jepang di Jakarta yang sudah mulai curiga padanya.
Di Bayah, Tan Malaka sempat bekerja pada pemerintahan Jepang sebagai juru tulis, sekaligus mandor para romusha.
Sarjo adalah salah satu orang yang pernah dimandori pria yang pernah menjadi ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1921 itu. Sarjo pun mengakui masih ingat persis sosok Tan Malaka yang kala itu menjadi mandor.
Menurut Sarjo, Tan Malaka, yang perjuangannya berakhir tragis di mulut corong senapan tentara Republik Indonesia pada tahun 1949 itu adalah sosok yang hangat.
"Dia pakai nama Ilyas Husein waktu itu, bukan Tan Malaka. Dia memang jadi mandor saya waktu itu. Orangnya baik sekali. Nggak kasar sama para romusha. Saya sih nggak pernah ngobrol khusus sama beliau, tapi saya ingat sosoknya, " kata Sarjo.
Tidak seperti mandor asal Jepang yang senang main tangan bilamana romusha dianggap tidak becus bekerja, Tan Malaka lebih memilih menggunakan mulut.
"Kalau ada romusha salah dikasih taunya baik- baik. Kalau mandor Jepang mah sukanya main tangan. Kepala dipukuli pakai dua tangan, " kata Sarjo. (Banu Adikara)