News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Parahnya Kondisi Hutan di Pidie, Musim Kemarau pun Warga Takut Longsor

Editor: Wahid Nurdin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI - Personel Polisi Hutan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Besar menyita kayu bulat saat operasi pencegahan illegal logging di kawasan Hutan Seulawah, di Kemukiman Lamteuba, Aceh Besar, Kamis (24/10/2013). Operasi pencegahan illegal logging tersebut selain menyita barang bukti juga memberikan sosialisasi kepada warga setempat untuk tidak membabat hutan lindung di kawasan itu. SERAMBI INDONESIA/BUDI FATRIA

TRIBUNNEWS.COM, SIGLI  -  Kondisi hutan lindung Padang Tiji di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh semakin parah.

Ditandai dengan makin hancurnya tebing sungai, banjir bandang yang tak diduga, serta kurangnya pasokan air gunung untuk pengairan sawah.

Hal ini akibat maraknya illegal logging dan pengambilan batu gajah di kawasan hutan tersebut.

Tarmizi Yusuf (58), tokoh masyarakat Gampong Kupula, Kecamatan Padang Tiji, Kamis (28/4/2016) mengatakan, bahkan di musim kemarau seperti saat ini pun, warga tetap saja khawatir dengan banjir bandang dan tanah longsor.

Karena meski hujan hanya sebentar, tapi air dari gunung bisa langsung menghantam kawasan permukiman, dan menciptakan longsoran tanah akibat pohon dan bebatuan besar terus diambil secara membabi-buta.

“Bangunan irigasi Rajui yang terletak di atas waduk Rajui juga telah ambruk, akibat banjir bandang beberapa bulan lalu. Banjir tersebut paling parah terjadi pada tahun ini,” kata Tarmizi.

Selain itu, sejumlah rumah warga rusak, kebun tak produktif lagi, sarana jalan hancur, akibat eksploitasi hutan yang berlebihan tanpa mampu dikendalikan pemerintah yang berkuasa saat ini.

Kerusakan hutan paling parah terlihat di hulu Krueng Blang Putek atau Krueng Rajui, yang menjadi lokasi pengambilan batu gajah secara besar-besaran untuk proyek pemasangan break water di tepi laut.

“Padahal batu gajah ini sama seperti pepohonan yang bisa menjadi paku bumi untuk menahan tanah agar tidak longsor. Namun kenyataannya, pengambilan batu gajah dilakukan secara massal malah dilakukan di sepanjang Krueng Kalee dan Krueng Pawod,” katanya.

Menurut Tarmizi, pembukaan lahan baru seluas 300 hektare untuk menanam jagung di Km 80 di kawasan Gunung Seulawah, menambah parah kerusakan hutan.

Karena dilakukan dengan menebang pohon secara tidak beraturan, termasuk menebang pohon di sekitar alur sungai.

Sehingga hutan tidak bisa lagi menyerap air, dan saat hujan turun langsung menyebabkan longsor dan mengirim banjir ke kawasan hilir tempat bermukimnya warga.

Aksi ilegal logging paling parah, kata Tarmizi, bisa dilihat di hulu Krueng Paloh, yang hingga kini makin sering menyebabkan banjir di Kemukiman Paloh, Peudaya, dan pasar Padang Tiji.

“Kami meminta Pemkab Pidie bisa bersikap tegas, melarang pengambilan batu gajah dan menghentikan pembalakan liar,” kata Tarmizi.

Kerusakan infrasruktur akibat banjir beberapa waktu lalu dan hingga kini belum diperbaiki, yaitu runtuhnya tebing sungai Blang Peutek sepanjang 20 kilometer, tanggul Krueng Seumanyam 15 kilometer, dan Krueng Paloh 20 kilometer, serta bangunan irigasi Blang Peutek yang kini rusak total.

Jika tidak segera dibangun pengaman, longsornya tebing sungai akan terus meluas hingga berdampak amblasnya kebun warga dan bertambahnya kerusakan fasilitas publik.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Pidie, Syarkawi MSi, Kamis (28/4) mengatakan, merujuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, bahwa aksi illegal logging dan pengambilan batu gajah di areal hutan lindung, menjadi wewenang Dinas Kehutanan Aceh untuk menertibkannya.

“Bahkan, mulai 1 Januari 2017 segala perizinan terhadap hutan lindung telah dialihkan ke Dinas Kehutanan Aceh. Personel Pamhut Pidie juga sudah ditarik ke Pemerintah Provinsi seiring beralihnya kewenangan ini,” ujar Syarkawi.(serambi indonesia/naz)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini