TRIBUNNEWS.COM, TEGAL - Keluarga almarhum Supriyanto, Anak Buah Kapal (ABK) yang meninggal dunia di atas kapal berbendera Taiwan saat berlayar 25 Agustus 2015, merasa ada banyak kejanggalan terkait penyebab kematian Supri.
Kini jenazah warga Desa Dukuh Wringin RT 1 RW 3 Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah itu sudah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa setempat pada tanggal 25 September 2015 lalu.
Keluarga menduga Supriyanto meninggal setelah menjadi korban penganiayaan sesama ABK dari Indonesia, atas perintah nakhoda kapal. Keluarga meminta keadilan dan kejelasan terkait penyebab meninggalnya Supriyanto.
"Terus terang saja, kami keluarga Mas Supriyanto memang curiga, ada beberapa kejanggalan setelah melihat kondisi jenazah saat sampai di rumah, 25 September 2015, sekitar pukul 20.00 malam itu," kata Setiawan Wartono (34), adik ipar Supriyanto, saat ditemui di kediamannya, Selasa (24/5/2016).
Kejanggalan yang pertama, setibanya peti jenazah Supriyanto hanya diantarkan oleh dua orang yakni sopir ambulans dan kernetnya.
Kedua, peti jenazah dalam kondisi tidak terkunci atau tidak tertutup rapat. Ketiga, tidak ada keterangan jenazah diterbangkan menggunakan pesawat apa dari mana asal dan tujuannya.
Kelima, saat dua orang pengantar jenazah menyerahkan peti jenazah hanya memberikan satu lembar surat serah terima saja dan dimintai tanda tangan penerima dari pihak keluarga.
Yang membuat pihak keluarga menangis dan sedih, saat membuka peti, kondisi beberapa bagian tubuh jenazah sudah rusak dan mengecil sampai 50 persen dari aslinya.
Menurut keterangan perusahaan penyalur, yakni PT Jangkar Jaya Samudera yang beralamatkan di Kabupaten Pemalang Jawa Tengah, kematian Supriyanto dikarenakan terserang penyakit kulit berupa bisul.
"Kejanggalan-kejanggalan itulah yang membuat keluarga menduga-duga kalau Mas Supriyanto meninggal bukan karena sakit bisul tapi karena dianiaya dan disiksa. Kalau memang sakit bisul, ya paling tidak ada dokumen hasil autopsi atau visum dari RS Taiwan atau Indonesia yang diserahkan ke keluarga. Tidak ada dokumen apapun saat itu, cuma satu lembar surat penyerahan jenazah," ungkapnya.
Kondisi jenazah Supriyanto di dalam peti, bagian kepalanya sudah berupa separuh tengkorak dan bagian tubuh lainnya hanya terlihat tulang berbalut kulit.
"Sebenarnya ini aib, tapi memang kondisi jenazah Mas Supriyanto sangat memprihatinkan. Keluarga tidak tega sebenarnya mau membuka pakaian jas dan celana yang dikenakannya. Karena ingin tahu, akhirnya semua pakaiannya dibuka dan keluarga menyaksikan kondisinya," kata dia.
Kejanggalan lain, muncul sebelum jenazah Supriyanto dipulangkan. Awalnya pihak pemilik kapal Taiwan tidak menghendakinya jenazah Supriyanto dipulangkan, tapi hendak dikremasi (bakar) sesuai dengan adat di negara Taiwan.
Namun, pihak keluarga langsung menolak dan meminta jenazah Supriyanto dipulangkan ke Indonesia.
"Alhamdullilah setelah penolakan itu sekitar 30 hari setelah dikabarkan meninggal, jenazah tiba di sini," paparnya.
Supriyanto sudah dua kali menjadi ABK kapal ikan di luar negeri. Pertama awal tahun 2013 lalu ikut kapal Taiwan. Saat itu, ia mendapatkan kontrak kerja selama satu tahun. Namun, Supriyanto hanya bekerja selama 10 bulan dan pulang ke Indonesia.
Keberangkatan kedua, Supriyanto juga ikut kapal Taiwan dan menandatangani kontrak satu tahun. Namun, baru sekitar enam bulan bekerja, Supriyanto dikabarkan meninggal dunia karena sakit.
Gaji selama enam bulan bekerja, hingga jenazah Supriyanto dipulangkan, belum dibayarkan oleh pihak pemilik kapal.
"Kami sudah berulang kali tanya ke perusahaan penyalur tapi belum ada tindak lanjut," kata Setiawan.
Selang dua pekan kedatangan jenazah, klaim asuransi dari perusahaan melalui BRIngin Life cair sebesar Rp 41.841.004.
"Keluarga juga mendapat uang santunan dari direktur perusahaan penyalur Rp 4 juta," ujarnya.
Namun, asuransi yang seharusnya diberikan dari pemilik kapal hingga kini belum diberikan.
"Harusnya kan ada asuransi dari pemilik kapal Taiwan itu untuk Mas Supriyanto yang diberikan kepada ahli waris keluarga," jelasnya.
Tiga Anak Dirawat Keluarga
Sepeninggal Supriyanto, ketiga anaknya yakni, Muhammad Demas Akim (13), Muhammad Subur Makmum, dan Lindia Wati (4) kini dirawat oleh keluarga lainnya.
Sebelum Supriyanto dikabarkan meninggal dunia, istri Supriyanto, Rukhatun Janah (30) sudah meninggalkan keluarganya karena alasan ekonomi.
Sebelum menjadi ABK, pekerjaan Supriyanto selama hampir 20 tahun adalah menjadi kernet bus di sejumlah armada. Ia pernah menjadi kernet bus PO Menara Jaya, bus PO Bhineka Ganesa dan yang terakhir bus PO Dedy Jaya.
"Demi ingin mengubah kondisi ekonomi kehidupan keluarganya, pekerjaan kernet yang selama ini ditekuni Mas Supriyanto ditinggalkan dan beralih profesi menjadi ABK," kata dia.
Ia mengatakan, barang berharga milik Supriyanto yang diterima keluarga hanyalah sebuah dompet dengan isinya.
"Sekitar sebulan setelah jenazah Mas Supriyanto dimakamkan. Ada teman sesama ABK datang ke rumah mengantarkan dompetnya. Saat itu dompet berisi kartu identitas dan uang Rp 15 ribu rupiah," paparnya. (tribunjateng/fajar eko nugroho)