Laporan Wartawan Tribun Timur Fahrizal Syam
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Bulan suci ramadan selalu membawa berkah dan kebahagian kepada para umat muslim di seluruh dunia.
Meskipun dalam kondisi terpuruk sekalipun, para umat muslim akan selalu bersuka cita menyambut datangnya ramadan.
Hal itu juga yang dirasakan oleh ribuan imigran yang tersebar di Kota Makassar. Terdapat sekitar 2000 imigran yang tersebar di 28 lokasi penampungan di Kota Makassar.
Para imigran yang berstatus sebagai pencari suaka menjalani bulan suci ramadan dengan hati gembira, meskipun hidup dalam kondisi yang tak jelas.
Iqbal Husain (40) salah satunya, seorang imigran asal Mongdo, Myanmar yang menetap di Wisma Budi, Jl Harimau No 7, Kelurahan Maricaya, Kecamatan Makassar, bersama puluhan imigran lainnya.
Saat ditemui Sabtu (25/6), Iqbal tampak sedang bercengkrama dengan tiga anak perempuannya. Ia bersama istri dan ketiga putrinya telah menetap di Makassar selama kurang lebih tiga tahun.
Iqbal menceritakan, menjalani hari-harinya selama bulan suci ramadan bersama keluarganya dengan menyenangkan.
Ia mengaku dapat menjalani puasa seperti orang lain pada umumnya, meskipun status mereka yang hanya sebagai pengungsi di Makassar.
"Alhamdulillah hidup di sini enak, puasanya pun lancar seperti orang lain, meskipun hidup kami kekurangan," kata Iqbal dengan menggunakan bahasa Melayu yang cukup fasih.
Iqbal mempelajari bahasa melayu saat berada di Malaysia. Ketika memutuskan meninggalkan Myanmar pada tahun 1994 akibat konflik agama, ia mengungsi ke negeri Jiran, dan menetap hingga tahun 2013.
Selama belasan tahun di Malaysia, ia bekerja di sebuah tambang. Ia kemudian memutuskan meninggalkan Malaysia untuk menuju ke Australia, negara favorit para imigran gelap.
Namun dalam perjalanan, ia ditangkap di wilayah perairan Indonesia, dan dibawa ke tempat penampungan imigran, sambil menunggu waktu pemberangkatannya ke negara ketiga, atau Australia.
Di Wisma Budi ini, Iqbal tinggal bersama 38 orang imigran lainnya dari berbagai negara seperti Somalia, Afghanistan, Iran, dan beberapa negara lainnya.
Selama tinggal di Makassar, makanan dan tempat tinggal Iqbal dan para imigran ditanggung oleh International Organization for Migration (IOM).
"Kami ditanggung oleh IOM, tiap bulan diberi uang untuk hidup dengan rincian Rp1.250.000 untuk dewasa dan Rp500 ribu untuk anak-anak,"terangnya.
Meskipin begitu, bantun yang diberikan tersebut diakui Iqbal tidak mencukupi untuk hidupnya bersama istri dan tiga anaknya.
"Dulu masih cukup, tapi sekarang sudah tidak cukup lagi, mengingat banyak kebutuhan untuk anak kami, apalagi sekarang bulan ramadan, keperluan untuk hari raya juga banyak," katanya.
Meskipun begitu, ia masih tetap bersyukur dapat diberi tempat tinggal sementara. Para imigran yang dilarang bekerja pun mengisi hari-harinya dengan memperbanyak ibadah di bulan ramadan ini.
Iqbal bersama beberapa imigran lain setiap memasuki waktu sala, selalu berbondong-bondong ke masjid untuk salat berjamaah.
"Mau bagaimana lagi, di sini kita dilarang bekerja, tak seperti di Malaysia, jadi setiap hari kita seperti ini saja, berkumpul bersama keluarga, atau ke masjid," ungkapnya.
Iqbal juga merasa sudah nyaman dan tak lagi canggung berkomunikasi dengan warga Makassar, meakipun mereka masih menutup diri untuk pergaulan di luar.
"Kami merasa nyaman di sini bersama warga, dan merayakan idul fitri," pungkasnya. (*)