Laporan Wartawan Tribun Jogja, Arfiansyah Panji Purnandaru
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Jatuhnya Pesawat Dakota VT-CLA pada 29 Juli 1947 menimbulkan teka-teki.
Selain dua makam pilot dan co-pilot pesawat Dakota yaitu Alexandre Noel Constantine warga negara Australia dan Roy Hazlehurst warga negara Inggris, yang telah ditemukan dan direnovasi di sebuah pemakaman tua TPU Sasanalaya di Mergangsang, Kota Yogyakarta, masih ada misteri lain di balik peristiwa heroik tersebut.
Pertanyaan tentang siapakah yang menyelamatkan para awak pesawat carteran asal India tersebut kemudian muncul ke permukaan.
Titik terang pun muncul tatkala Tribun Jogja (Tribunnews.com Network) bertemu dengan anak dari pelukis Tino Sidin, yaitu Panca Takariyati Sidin atau biasa disapa Titik Sidin.
Putri terakhir dari sang pelukis yang juga mengisi acara ‘Gemar Membaca’ di stasiun TVRI di era 80an tersebut memperlihatkan beberapa artikel yang menunjukkan situasi pada saat dan setelah jatuhnya pesawat yang turut serta membawa tokoh perintis AU, Adisutjipto, Abdulrachman Saleh dan Adisumarmo, Jumat (2/9/2016).
Artikel pertama berjudul ‘Tino Sidin’ yang dimuat Kompas pada 19 Agustus 1979, menceritakan tentang kehidupan pelukis yang lahir di Tebingtinggi pada 25 November 1925 tersebut, mulai dari mengajar, baret dan zaman revolusi.
Pada paragraf ke 17 dan 18 artikel tersebut diceritakan bagaimana Tino Sidin menyaksikan pertempuran udara antar pesawat di Lapangan Udara Maguwoharjo.
"Tiba-tiba sebuah pesawat Dakota VTCLA dari India tertembak jatuh oleh Mustang dan meluncur ke tengah sawah di Desa Gandok. Pesawat itu kemudian meledak dan patah menjadi dua. Semua penumpang tewas termasuk Pak Karbol (Adisoetjipto), Pak Abdulrahman Saleh, Wing Commander dari India dan Australia. Satu-satunya yang selamat adalah Pak Gani," tulis artikel yang ditulis ole P Hendranto tersebut.
Tidak hanya Tino Sidin, masyarakat juga ikut menyaksikan pertempuran udara bersejarah tersebut. Masyarakat pun bersorak gembira ketika pesawat Dakota jatuh.
Mereka mengira bahwa pesawat tersebut merupakan milik Belanda. Pasalnya, terdapat orang asing di dalam pesawat tersebut.
Satu-satunya awak pesawat yang selamat yaitu R Abdul Gani Handonotjokro bahkan nyaris menjadi bulan-bulanan saat itu.
Beruntung, Tino Sidin berhasil mencegah amukan masyarakat tersebut. Dengan kendaraan truk, Tino Sidin menyelamatkan Abdul Gani ke rumah sakit.
Artikel berikutnya dimuat Warta Berita Antara pada 4 oktober 1981. Artikel yang ditulis Tony Ryanto, memperkuat bukti bahwa Tino Sidin menjadi salah satu orang yang berperan dalam evakuasi korban pesawat Dakota.
Dalam artikel tersebut dituliskan bahwa Tino Sidin adalah salah satu dari sekelompok orang yang membantu mengangkat jenazah penerbang Adisutjipto ke Rumah Sakit Bethesda, setelah pesawat yang ditumpangi pahlawan nasional itu tertembak jatuh di Yogyakarta.
Pada rubrik Redaksi Yth Kompas terbitan 8 September 1979, seorang pembaca bernama Jojok Soebandrio memberikan tanggapan tentang artikel ‘Tino Sidin’ yang dimuat Kompas.
Dalam rubrik tersebut Jojok membagi pengalamannnya bertemu seorang pejabat dari Hamburg, Jerman (Jerman Barat pada waktu itu).
Pejabat Jerman tersebut bercerita padanya ketika harus dipaksa turun dari pesawat Dakota dengan alasan ada ‘orang penting’, ketika pesawat sudah siap take off dari Singapura menuju Yogyakarta.
Selang beberapa waktu kemudian, pejabat Jerman tersebut kembali bertemu dengan Abdul Gani yang notabene merupakan satu-satunya awak pesawat Dakota yang selamat.
Dalam perjumpaan tersebut Abdul Gani bercerita jika tidak segera berlari ke WC pesawat, pasti akan ikut menjadi korban pengeroyokan massa.
Jadi pada saat itu, Abdul Gani tidak hanya ‘hampir’ dihajar massa, namun memang sudah mengalami pengeroyokan.
Situasi peperangan menyebabkan setiap orang saling curiga. Terlebih, pesawat Dakota memang bukan milik Republik Indonesia.
Buku biografi ‘Tino Sidin Guru Gambar dan Pribadi Multi Dimensional’ halaman 55-56 juga memuat keterangan dari Daoed Joesoef mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia era Soeharto.
Daoed yang kenal dekat dengan Tino Sadin menyebutkan, Tino termasuk orang yang pertama menolong. Pesawat tersebut jatuh di Ngoto Selatan kota Yogyakarta.
Tino Sidin yang saat itu melatih Kepanduan (sekarang Pramuka) melihat jelas pesawat nahas itu, terbakar di udara, asap mengepul, dan melayang ke bawah.
Tino pun, bergegas mengarahkan sejumlah anggota Pandu yang dipimpinnya bergegas ke lokasi.
Panca Takaryati Sidin, menceritakan bahwa Tino Sidin bukan merupakan sosok ayah yang gemar bercerita pengalamannya dengan serius kepada anak-anaknya.
Titik mengaku baru mengetahui bahwa ayahnya terlibat dalam peristiwa besar tersebut setelah ia membaca beberapa artikel.
Perjalanan Tino di Yogyakarta pun dimulai dengan tekad merantau ke Yogyakarta bersama dua temannya, Nasjah Djamin dan Daoed Joesoef.
"Pak Tino ke Jawa untuk studi, namun situasi pada saat itu genting jadi seperti bergerilya. Waktu itu Pak Tino ikut Tentara Pelajar dan tinggal di Taman Siswa, Yogyakarta. Pak Tino juga mengajar Kepanduan. Bapak bercerita sambil lalu, hanya cerita sambil santai, selebihnya saya ketahui berdasarkan artikel," kisahnya.
Saat ini, Titik menjadi pengelola Taman Tino Sidin yang beralamat di Jalan Tino Sidin 297 Kadipiro, Kasihan, Bantul. Taman tersebut merupakan wadah bagi aktivitas seni untuk anak.
Selain itu, ditampilkan pula karya-karya dan kenangan dari Tino Sidin. Tak hanya itu, sosok Tino Sidin juga dapat dijumpai secara visual melalui film dokumenter dan cuplikan salah satu acara legendarisnya ‘Gemar Menggambar’.